Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Thursday 9 April 2015

CONTOH MAKALAH HUKUM DAGANG : HUKUM PENGANGKUTAN

No comments


KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, hidayah serta inayah-Nya kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini yaitu tentang Hukum Pengangkutan dalam Hukum Dagang. Semoga dengan membaca makalah  ini, membuat para pembacanya, akan lebih memahami Hukum atau aturan-aturan yang berlaku dalam proses pengangkutan. Kritik dan saran sangat kami nantikan agar dapat menyusun sebuah makalah yang lebih baik lagi dan lebih bermanfaat.






                                                                                                                        Penyusun




DAFTAR ISI


Kata Pengantar ........................................................................................... i

Daftar Isi .................................................................................................... ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pengangkutan ..................................................................... 4

2.2 Asas-asas Pengangkutan ...................................................................... 5

2.3 Fungsi dan Tujuan Pengangkutan ........................................................ 7

2.4 Prinsip Dasar Pengangkutan ................................................................ 8

2.5 Jenis Pengangkutan dan Pengaturannya .............................................. 9

2.6 Sifat Hukum Perjanjian Pengangkutan ................................................ 9

2.7 Terjadinya Perjanjian Pengangkutan ................................................... 10

2.8 Kedudukan Penerima .......................................................................... 10

2.9 Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkutan ................................. 11

2.10 Perlindungan Hukum Bagi Korban Kecelakaan Lalu Lintas Darat....15

2.11 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ..............24

2.12 Ketentuan Keselamatan Penerbangan dalam Peraturan Penerbangan

        Nasional Indonesia .............................................................................27

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ...........................................................................................32


DAFTAR PUSTAKA




 

BAB I

PENDAHULUAN


1.1              Latar Belakang


Dengan menyadari pentingnya peranan transportasi, maka lalu lintas dan angkutan jalan harus ditata dalam suatu sistem transportasi nasional secara terpadu dan mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang sesuai dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan angkutan yang tertib, nyaman, cepat, teratur, lancar dan dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan kebijakan di bidang transportasi darat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagai Pengganti UU No. 14 Tahun 1992, serta Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan yang masih tetap berlaku meskipun PP No. 41 Tahun 1993 merupakan peraturan pelaksanaan dari UU No. 14 tahun 2003 dikarenakan disebutkan dalam Pasal 324 UU No. 22 Tahun 2009 bahwa : Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480) dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini. Dalam pasal 2 dan pasal 3 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (yang selanjutnya disingkat dengan UULLAJ) mengatur asas dan tujuan pengangkutan. Adapun Asas penyelenggaraan lalu lintas adalah diatur dalam Pasal 2 UULLAJ yakni Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan memperhatikan: asas transparan, asas akuntabel, asas berkelanjutan, asas partisipatif, asas bermanfaat, asas efisien dan efektif, asas seimbang, asas terpadu, dan asas mandiri. Sedangkan Pasal 3 UULAJ menyebutkan mengenai tujuan dari Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yakni : terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa, terwujudnya, etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

Demikian juga dalam Paragraf 9 UULLAJ tentang Tata Cara Berlalu Lintas bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum serta pasal 141 UULAJ tentang standar pelayanan angkutan orang dan masih banyak pasal-pasal lainnya yang terkait dengan adanya upaya memberikan penyelenggaraan jasa angkutan bagi pengguna jasa atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan pemakai jasa angkutan. Pengguna jasa adalah setiap orang dan/ atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan baik untuk angkutan orang maupun barang. Karena pengangkutan di sini merupakan pengangkutan orang maka pengguna jasa untuk selanjutnya disebut penumpang. Sedangkan pengangkut adalah pihak yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan angkutan barang dan/ atau penumpang. Pengertian lainnya adalah menurut Pasal 1 ayat 22 UULLAJ, yang disebut dengan Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. Sedangkan yang disebut pengangkut dalam UULLAJ ini dipersamakan dengan pengertian Perusahaan Angkutan Umum yakni di sebutkan dalam Pasal 1 ayat 21 yang berbunyi : Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum.

Dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 2009 tersebut diharapkan dapat membantu mewujudkan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan jasa angkutan, baik itu pengusaha angkutan, pekerja (sopir/ pengemudi) serta penumpang. Secara operasional kegiatan penyelenggaraan pengangkutan dilakukan oleh pengemudi atau sopir angkutan dimana pengemudi merupakan pihak yang mengikatkan diri untuk menjalankan kegiatan pengangkutan atas perintah pengusaha angkutan atau pengangkut. Pengemudi dalam menjalankan tugasnya mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya yaitu mengangkut penumpang sampai pada tempat tujuan yang telah disepakati dengan selamat, artinya dalam proses pemindahan tersebut dari satu tempat ke tempat tujuan dapat berlangsung tanpa hambatan dan penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya, luka, sakit maupun meninggal dunia. Sehingga tujuang pengangkutan dapat terlaksana dengan lancar dan sesuai dengan nilai guna masyarakat. Namun dalam kenyataannya masih sering pengemudi angkutan melakukan tindakan yang dinilai dapat menimbulkan kerugian bagi penumpang, baik itu kerugian yang secara nyata dialami oleh penumpang (kerugian materiil), maupun kerugian yang secara immateriil seperti kekecewaan dan ketidaknyamanan yang dirasakan oleh penumpang. Misalnya saja tindakan pengemudi yang mengemudi secara tidak wajar dalam arti saat menjalani tugasnya pengemudi dipengaruhi oleh keadaan sakit, lelah, meminum sesuatu yang dapat mempengaruhi kemampuannya mengemudikan kendaraan secara ugal-ugalan sehingga menyebabkan terjadinya kecelakaan dan penumpang yang menjadi korban. Hal ini tentu saja melanggar pasal 23 ayat 1 (a) UULLAJ.

Tindakan lainnya adalah pengemudi melakukan penarikan tarif yang tidak sesuai dengan tarif resmi, hal ini tentu saja melanggar pasal 42 UULLAJ tentang tarif. Misalnya saja di Surabaya tarif resmi angkutan mikrolet yang ditentukan berdasarkan SK Walikota Surabaya No. 55/ 2002 adalah sebesar Rp. 1200. Namun dalam realitanya masih ada pengemudi menarik biaya angkutan lebih dari tarif resmi. Atau tindakan lain seperti menurunkan di sembarang tempat yang dikehendaki tanpa suatu alasan yang jelas, sehingga tujuan pengangkutan yang sebenarnya diinginkan oleh penumpang tidak terlaksana. Hal ini tentu saja melanggar ketentuan pasal 45 (1) UULLAJ mengenai tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang yang dimulai sejak diangkutnya penumpang sampai di tempat tujuan. Dan adanya perilaku pengangkut yang mengangkut penumpang melebihi kapasitas maksimum kendaraan. Dengan melihat kenyataan tersebut, dapat diketahui bahwa dalam sektor pelayanan angkutan umum masih banyak menyimpan permasalahan klasik. Dan dalam hal ini pengguna jasa sering menjadi korban daripada perilaku pengangkut yang tidak bertanggung jawab.


                                                                      



BAB II

PEMBAHASAN

                                                               

2.1    PENGERTIAN PENGANGKUTAN


Menurut arti kata, angkut berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Pengangkutan artinya usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain. Jadi, dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut :

1)      Ada sesuatu yang diangkut.

2)      tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan.

3)      ada tempat yang dapat dilalui oleh angkutan.


Menurut pendapat R. Soekardono, SH, pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.Adapun proses dari pengangkutan itu merupakan gerakan dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu diakhiri . Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam alat pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan/ dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan ke tempat yang ditentukan . Sehingga Secara umum dapat didefinisikan bahwa pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar angkutan. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa pihak dalam perjanjian pengangkut adalah pengangkut dan pengirim. Sifat dari perjanjian pengangkutan adalah perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak mempunyai kewajiban-kewajiban sendiri-sendiri. Pihak pengangkut berkewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengiriman berkewajiban untuk membayar uang angkutan .


2.2     ASAS-ASAS PENGANGKUTAN


      Asas-asas hukum pengangkutan merupakan landasan filosofis yang diklasifikasikan menjadi dua yaitu:

1)      Yang bersifat perdata; dan

2)      Yang bersifat public


Asas-asas yang bersifat publik terdapat pada tiap-tiap Undang-Undang pengangkutan baik darat, laut dan udara. Dalam pengangkutan udara terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang No.15 Tahun 1992. Asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu pengangkut dan penumpang atau pengirim barang. Asas-asas hukum pengangkutan yang bersifat perdata menurut Abdulkadir Muhammad (1998: 18-19) adalah sebagai berikut:


a.       Konsensual

Pengangkutan tidak diharuskan dalam bentuk tertulis, sudah cukup dengan kesepakatan pihak-pihak. Tetapi untuk menyatakan bahwa perjanjian itu sudah terjadi atau sudah ada harus dibuktikan dengan atau didukung oleh dokumen angkutan.


b.       Koordinatif

Pihak-pihak dalam pengangkutan mempunyai kedudukan setara atau sejajar, tidak ada pihak yang mengatasi atau membawahi yang lain. Walaupun pengangkut menyediakan jasa dan melaksanakan perintah penumpang/pengirim barang, pengangkut bukan bawahan penumpang/pengirim barang. Pengangkutan adalah perjanjian pemberian kuasa.


c.       Campuran

Pengangkutan merupakan campuran dari tiga jenis perjanjian, yaitu pemberian kuasa, penyimpanan barang, dan melakukan pekerjaan dari pengirim kepada pengangkut. Ketentuan ketiga jenis perjanjian ini berlaku pada pengangkutan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian pengangkutan.




d.      Retensi

Pengangkutan tidak menggunakan hak retensi. Penggunaan hak retensi bertentangan dengan tujuan dan fungsi pengangkutan. Pengangkutan hanya mempunyai kewajiban menyimpan barang atas biaya pemiliknya.


e.       Pembuktian dengan dokumen

Setiap pengangkutan selalu dibuktikan dengan dokumen angkutan. Tidak ada dokumen angkutan berarti tidak ada perjanjian pengangkutan, kecuali jika kebiasaan yang sudah berlaku umum, misalnya pengangkutan dengan angkutan kota (angkot) tanpa karcis/tiket penumpang.


Ada beberapa asas hukum pengangkutan yang bersifat publik, yaitu sebagai berikut:


a.      Asas manfaat yaitu, bahwa pengangkutan harus dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan peri kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara;

b.       Asas usaha bersama dan kekeluargaan yaitu, bahwa penyelenggaraan usaha di bidang pengangkutan dilaksanakan untuk mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan;

c.   Asas adil dan merata yaitu, bahwa penyelenggaraan pengangkutan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;

d.      Asas keseimbangan yaitu, bahwa pengangkutan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional;

e.  Asas kepentingan umum yaitu, bahwa penyelenggaraan pengangkutan harus mengutamakan kepentingan pelayanan umum bagi masyarakat luas;

f.       Asas keterpaduan yaitu, bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar moda transportasi;

g.         Asas kesadaran hukum yaitu, bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pengangkutan.

h.     Asas percaya pada diri sendiri yaitu, bahwa pngangkutan harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian bangsa;

i.      Asas keselamatan Penumpang, yaitu bahwa setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai dengan asuransi kecelakaan .


2.3     FUNGSI DAN TUJUAN PENGANGKUTAN


Pada dasarnya fungsi pengangkutan adalah untuk memindahkan barang atau orang dari suatu tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai. Jadi dengan pengangkutan maka dapat diadakan perpindahan barang-barang dari suatu tempat yang dirasa barang itu kurang berguna ketempat dimana barang-barang tadi dirasakan akan lebih bermanfaat. Perpindahan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain yang diselenggarakan dengan pengangkutan tersebut harus dilakukan dengan memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan, yaitu harus diselenggarakan dengan aman, selamat, cepat, tidak ada perubahan bentuk tempat dan waktunya. Menurut Sri Rejeki Hartono bahwa pada dasarnya pengangkutan mempunyai dua nilai kegunaan, yaitu :

a.       Kegunaan Tempat ( Place Utility )

Dengan adanya pengangkutan berarti terjadi perpindahan barang dari suatu tempat, dimana barang tadi dirasakan kurang bermanfaat, ketempat lain yang menyebabkan barang tadi menjadi lebih bermanfaat.

b.      Kegunaan Waktu ( Time Utility )

Dengan adanya pengangkutan berarti dapat dimungkinkan terjadinya suatu perpindahan suatu barang dari suatu tempat ketempat lain dimana barang itu lebih diperlukan tepat pada waktunya .


2.4    PRINSIP DASAR PENGANGKUTAN


Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu antara pengangkut dan pengirim adalah sama tinggi. Hubungan kerja di dalam perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan pengirim tidak secara terus menerus, tetapi sifatnya hanya berkala, ketika seorang pengirim membutuhkan pengangkut untuk mengangkut barang. Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian pengangkutan mengandung tiga prinsip tanggung jawab, yaitu:


a.              Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan

 Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang umum berlaku seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum.


b.              Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga

 Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut.


c.              Prinsip tanggung jawab mutlak

 Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan.


Dalam suatu pengangkutan bila undang-undang tidak menentukan syarat atau halyang dikehendaki para pihak maka para pihak dapat mengikuti kebiasaan yangtelah berlaku atau menentukan sendiri kesepakatan bersama, tentunya hal tersebutharus mengacu pada keadilan. Tujuan pengangkutan adalah terpenuhinya kewajiban dan hak-hak para pihak yang terlibat dalam pengangkutan. Kewajiban dari pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan berhak menerima biaya pengangkutan. Sedangkan kewajiban pengirim atau penumpang adalah membayar biaya pengangkutan dan berhak atas pelayanan pengangkutan yang wajar.


2.5.     JENIS PENGANGKUTAN DAN PENGATURANNYA


Dalam dunia perdagangan ada tiga jenis pengangkutan antara lain :

a.       Pengangkutan melalui darat yang diatur dalam :

1)      KUHD, Buku I, Bab V, Bagian 2 dan 3, mulai pasal 90-98.

2)   Peraturan khusus lainnya, misalnya, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian. Dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya.

3)      Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi.   

b.      Pengangkutan melalui laut

         Jenis pengangkutan ini diatur dalam :

1)      KUHD, Buku II, Bab V tentang Perjanjian Carter Kapal.

2)      KUHD, Buku II, Bab V A tentang pengangkutan barang-barang.

3)      KUHD, Buku II, Bab VB tentang pengangkutan orang.

4)      Peraturan-peraturan khusus lainnya.

c.       Pengangkutan udara

          Jenis pengangkutan udara diatur dalam :

1)      S. 1939 Nomor 100 ( Luchtvervoerordonnatie ).

2)      Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang penerbangan.

3)      Peraturan-peraturan khusus lainnya.


2.6.     SIFAT HUKUM PERJANJIAN PENGANGKUTAN


Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu pengangkut dan pengirim sama tinggi atau koordinasi ( geeoordineerd ), tidak seperti dalam perjanjian perburuhan, dimana kedudukan para pihak tidak sama tinggi atau kedudukan subordinasi gesubordineerd ). Mengenai sifat hukum perjanjian pengangkutan terdapat beberapa pendapat, yaitu :

a.       Pelayanan berkala artinya hubungan kerja antara pengirm dan pengangkut tidak bersifat tetap, hanya kadang kala saja bila pengirim membutuhkan pengangkutan (tidak terus menerus), berdasarkan atas ketentuan pasal 1601 KUH Perdata.

b.    Pemborongan sifat hukum perjanjian pengangkutan bukan pelayanan berkala tetapi pemborongan sebagaimana dimaksud pasal 1601 b KUH Perdata. Pendapat ini didasarkan atas ketentuan Pasal 1617  KUH Perdata ( Pasal penutup dari bab VII A tentang pekerjaan pemborongan ).

c.     Campuran perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian campuran yakni perjanjian melakukan pekerjaan ( pelayanan berkala ) dan perjanjian penyimpanan (bewaargeving). Unsur pelayanan berkala ( Pasal 1601 b KUH Perdata ) dan unsur penyimpanan ( Pasal 468 ( 1 ) KUHD ).


2.7    TERJADINYA PERJANJIAN PENGANGKUTAN


Menurut sistem hukum Indonesia, pembuatan perjanjian pengangkutan tidak disyratkan harus tertulis, cukup dengan lisan, asal ada persesuaian kehendak (konsensus). Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa untuk adanya suatu perjanjian pengangkutan cukup dengan adanya kesepakatan ( konsensus ) diantara para pihak. Dengan kata lain perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil. Dalam praktek sehari-hari, dalam pengangkutan darat terdapat dokumen yang disebut denga surat muatan ( vracht brief ) seperti dimaksud dalam pasal 90 KUHD. Demikian juga halnya dalam pengangkutan pengangkutan melalui laut terdapat dokumen konosemen yakni tanda penerimaan barang yang harus diberikan pengangkut kepada pengirim barang. Dokumen-dokumen tersebut bukan merupakan syarat mutlak tentang adanya perjanjian pengangkutan. Tidak adanya dokumen tersebut tidak membatalkan perjanjian pengangkutan yang telah ada ( Pasal 454, 504 dan 90 KUHD ). Jadi dokumen-dokumen tersebut tidak merupakan unsur dari perjanjian pengangkutan. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pengangkutan bersifat konsensuil.


2.8.    KEDUDUKAN PENERIMA


Dalam perjanjian pengangkutan, termasuk kewajiban pengangkut adalah menyerahkan barang angkutan kepada penerima. Disini penerima bukan merupakan pihak yang ada dalam perjanjian pengangkutan tetapi pada dasarnya dia adalah pihak ketiga yang berkepentingan dalam pengangkutan ( Pasal 1317 KUH Perdata ).

Penerima bisa terjadi adalah pengirim itu sendiri tetapi mungkin juga orang lain. Penerima akan berurusan dengan pengangkut apabila ia telah menerima barang-barang angkutan. Pihak penerima harus membayar ongkos angkutannya, kecuali ditentukan lain. Apabila penerima tidak mau membayar ongkos atau uang angkutnya maka pihak pengangkut mempunyai hak retensi terhadap barang-barang yang diangkutnya.


2.9              PRINSIP - PRINSIP TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT


Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu :


a.       Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)

Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab6 atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut. Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan. Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan : “jika perusahaan angkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud aya 1 huruf b: musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada pengangkutan darat dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”. Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”

Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab. Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:

a.   Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.

b.   Pasal 28 ayat 1, 2 UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.

c.   Pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.


b.     Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)

Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.

Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan. Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.


c.       Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)

Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.

Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini. Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.


d.      Pembatasan tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)

Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD. Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”. Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini. Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya. Pasal 36 berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus. Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru. Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab pengangkut dapat dilihat pada pasal 141 (1) Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. (2)Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya. Aturan ini menggunakan Prinsip Tanggung jawab Mutlak (Strict Liability), dimana pada ayat tersebut disebutkan bahwa pengangkut dikenai tanggung jawab tanpa melihat ada tau tidaknya kesalahan yang dari pengangkut. Pada Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga, seperti yang disebut dalam pasal 24 ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU; Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian, apabila:

a. ia dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian;

b.   ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;

c.   kerugian itu disebabkan oleh kesalahan yang menderita itu sendiri;

d.   kesalahan penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu


Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari aturan tadi.


e.       Presumtion of non Liability

Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini ditetapkan dalam :

a.       Pasal 43 ayat 1 b UU Penerbangan

b.      Pasal 86 UU Pelayaran


2.10          Perlindungan Hukum Bagi Korban Kecelakaan Lalu Lintas Darat


Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang penting dalam meningkatkan mobilitas sosial dan sangat dekat dekat masyarakat. Setiap waktu masyarakat terus bergulat dengan angkutan jalan dengan bermacam-macam kepentingan. Berbagai kondisi zaman dibarengi dengan  berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan pola tingkah laku masyarakat telah dilewati oleh Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Indonesia dari masa Pemerintahan Belanda sampai pada era refomasi pada saat ini. Begitupun dengan Undang-undang yang mengaturnya, pada masa pemerintahan Hindia Belanda di atur dalam Werverkeersordonnantie” (Staatsblad 1933 Nomor 86) yang kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1951 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang Lalu Lintas Jalan (Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 Nomor 86), lalu diganti dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya. Undang-Undang No 3 Tahun 1965 ini bahwa ini adalah Undang-Undang pertama yang mengatur LLAJ  di Indonesia setelah Indonesia Merdeka. Undang-undang tersebut kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang juga kemudian diganti oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 229 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang selanjutnya disingkat UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, membagi kecelakaan lalu lintas menjadi tiga golongan yaitu:

1. Kecelakaan Lalu Lintas Ringan, yaitu merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang

2.  Kecelakaan Lalu Lintas Sedang, yaitu merupakan kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang

3.  Kecelakaan Lalu Lintas Berat, yaitu merupakan kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat


Pasal 229 ayat (5) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa kecelakaan lalu lintas sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan. Tidak hanya mengenai penggolongan kecelakaan lalu lintas, UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga telah secara eksplisit mengatur mengenai hak korban yang diatur pada Bagian keempat Bab XIV tentang hak korban dalam kecelakaan lalu lintas. Adapun hak korban kecelakaan lalu lintas tersebut sebagaimana dijelaskan pada Pasal 240 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa korban kecelakaan lalu lintas berhak mendapatkan:

1.   Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah

2.    Ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas, dan

3.    Santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi.



Prosedur untuk mendapatkan Hak Korban Kecelakaan Lalu Lintas Darat


1.      Pertolongan dan perawatan

Pasal 240 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menunjukan bahwa hak korban ini biasa diperoleh korban dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah. Pengaturan mengenai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas darat hal tersebut sebenarnnya juga telah diatur pada pasal sebelumnya yaitu dalam Pasal 231 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menjelaskan bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas, wajib:

a.       Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya

b.      Memberikan pertolongan kepada korban

c.       Melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat

d.      Memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan

Selanjutnya dalam Pasal 231 ayat (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dijelaskan pula bahwa pengemudi kendaraan bermotor yang karena keadaan memaksa tidak dapat melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, segera melaporkan diri kepada Kepolisian Negara Republik Indoensia terdekat[7].

Pemberian pertolongan dan perawatan terhadap korban kecelakaan lalu lintas tidak hanya merupakan kewajiban dari pengemudi kendaraan bermotor, dalam Pasal 232 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan pula bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, dan/atau mengetahui terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib:

a.     Memberikan pertolongan kepada korban kecelakaan lalu lintas

b.   Melaporkan kecelakaan tersebut kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau

c.             Memberikan keterangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia


Mengenai pelaksanaan dari pasal 238 ayat (2) dan Pasal 239 ayat (1) sebagai kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam penanganan kecelakaan lalu lintas maupun terhadap korban kecelakaan lalu lintas. Pada perkembangannya hak korban yang berupa perawatan maupun ganti kerugian bukan hanya berasal dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah, tetapi juga dapat diberikan dari pihak Yayasan atau Perusahaan tempat pelaku kecelakaan bekerja.

               Untuk perawatan yang berasal dari Pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh Asuransi) prosedur pemberiannya adalah sama dengan prosedur santunan. Bahkan dalam rangka memberikan pelayanan “PRIME” Service Jasa Raharja Dumai, diwakili oleh Petugas Pelayanan, M. Abrar Anas, SE.Msi., menyerahkan penggantian biaya perawatan di rumah korban. Sehubungan dengan kecelakaan lalu lintas jalan yang menimpa korban, an. Tugiono, pejalan kaki yang menyebrang di tabrak oleh Sepeda Motor. Dijelaskan juga bahwa uang penggantian biaya rawatan sudah ditransfer ke rekening an. Korban dan berhubung korban tidak bisa datang ke kantor Jasa Raharja untuk menanda tangani kwitansi penerimaan uang maka pihak jasa raharja yang datang untuk meminta tanda tangan korban.


2.      Ganti kerugian

Ganti kerugian merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas, bukan hanya dimuat dalam Pasal 240 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tetapi diatur pula dalam UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada BAB XIV bagian ketiga mengenai kewajiban dan tanggung jawab dan paragraf 1 mengenai kewajiban dan tanggung jawab pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan, dalam Pasal 234 dijelaskan bahwa:

a. Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi

b.  Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi

c.    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika:

1) Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan pengemudi.

2) Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan


Besarnya nilai penggantian kerugian yang merupakan tanggung jawab pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dapat ditentukan berdasarkan putusan pengadilan atau dapat juga dilakukan diluar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak yang terlibat dengan catatan kerugian tersebut terjadi pada kecelakaan lalu lintas ringan. Apabila korban kecelakaan lalu lintas meninggal dunia maka berdasar Pasal 235 ayat (1) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum memberikan ganti kerugian wajib kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman. Namun pemberian ganti kerugian atau bantuan tersebut tidak serta merta menggugurkan tuntutan perkara pidana sebagaimana yang dimaksud Pasal 230 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.


3.      Santunan kecelakaan lalu lintas


Sebagai pelaksanaan Pasal 239 ayat (2) UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang mengatur bahwa Pemerintah membentuk perusahaan asuransi Kecelakaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu pemerintah mempunyai PT. Jasa Raharja (Persero) sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tugas dan fungsinya ada 2 (dua)  yaitu :

a.    Memberikan santunan atas kejadian kecelakaan pada korban kecelakaan  lalu lintas darat, laut, udara, dan penumpang kendaraan umum.

b.   Menghimpun dana pajak kendaraan bermotor melalui Samsat yang mana dana itu nantinya untuk membayar santunan.

Adapun cara memperoleh santunan adalah sebagai berikut:

a.    Menghubungi kantor Jasa Raharja terdekat

b.   Mengisi formulir pengajuan dengan melampirkan :

1)  Laporan Polisi tentang kecelakaan Lalu Lintas dari Unit Laka Satlantas Polres setempat dan atau dari instansi berwenang lainnya.

2)     Keterangan kesehatan dari dokter / RS yang merawat.

3)     KTP / Identitas korban / ahli waris korban.

4)      Formulir pengajuan diberikan Jasa Raharja secara cuma-cuma

Untuk memperoleh dana santunan caranya adalah dengan mengisi formulir yang disediakan secara Cuma-cuma oleh PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Persero), yaitu :

a. Formulir model K1 untuk kecelakaan ditabrak kendaraan bermotor dapat diperoleh di Polres dan Kantor Jasa Raharja terdekat.

b. Formulir K2 untuk kecelakaan penumpang umum dapat diperoleh di Kepolisian/Perumka/Syahbandar laut/Badar Udara dan Kantor Jasa Raharja terdekat.

Dengan cara pengisian formulir sebagai berikut :

1) Keterangan identitas korban/ahli waris diisi oleh yang mengajukan dana santunan.

2) Keterangan kecelakaan lalu lintas diisi dan disahkan oleh Kepolisian atau pihak yang berwenang lainnya.

3) Keterangan kesehatan/keadaan korban diisi dan disahkan rumah sakit/dokter yang merawat korban.

4) Apabila korban meninggal dunia, tentang keabsahan ahli waris, diisi dan disahkan oleh pamong praja/lurah/camat.


Dalam hal korban meninggal dunia, maka santunan meninggal dunia diserahkan langsung kepada ahli waris korban yang sah, adapun yang dimaksud ahli waris adalah :

a.     Janda atau dudanya yang sah

b.     Dalam hal tidak ada janda/dudanya yang sah, kepada anak-anaknya yang sah

c.     Dalam hal tidak ada Janda/dudanya yang sah dan anak-anaknya yang sah, kepada Orang Tuanya yang sah.

d. Dalam hal korban meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris, kepada yang menyelenggarakan penguburannya diberikan penggantian biaya-biaya penguburan.

Terdapat hal-hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu :

a. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Jo PP No 17 Tahun 1965 mengatur:

1)   Korban yang berhak atas santunan yaitu Setiap penumpang sah dari alat angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum, selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan tersebut, yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di tempat tujuan.

2)  Jaminan Ganda Kendaraan bermotor Umum (bis) berada dalam kapal ferry, apabila kapal ferry di maksud mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis yang menjadi korban diberikan jaminan ganda.

3)  Korban yang mayatnya tidak diketemukan Penyelesaian santunan bagi korban yang mayatnya tidak diketemukan dan atau hilang didasarkan kepada Putusan Pengadilan Negeri.Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 Jo PP No 18 Tahun 1965 mengatur :


a.    Korban Yang Berhak Atas Santunan, adalah pihak ketiga yaitu :

1)  Setiap orang yang berada di luar angkutan lalu lintas jalan yang menimbulkan kecelakaan yang menjadi korban akibat kecelakaan dari penggunaan alat angkutan lalu lintas jalan tersebut, contoh : Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor

2)  Setiap orang atau mereka yang berada di dalam suatu kendaraan bermotor dan ditabrak, dimana pengemudi kendaran bermotor yang ditumpangi dinyatakan bukan sebagai penyebab kecelakaan, termasuk dalam hal ini para penumpang kendaraan bermotor dan sepeda motor pribadi


b.   Tabrakan Dua atau Lebih Kendaraan Bermotor

1) Apabila dalam laporan hasil pemeriksaan Kepolisian dinyatakan bahwa pengemudi yang mengalami kecelakaan merupakan penyebab terjadinya kecelakaan, maka baik pengemudi mapupun penumpang kendaraan tersebut tidak terjamin dalam UU No 34/1964 jo PP no 18/1965

2) Apabila dalam kesimpulan hasil pemeriksaan pihak Kepolisian belum diketahui pihak-pihak pengemudi yang menjadi penyebab kecelakaan dan atau dapat disamakan kedua pengemudinya sama-sama sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, pada prinsipnya sesuai dengan ketentuan UU No 34/1964 jo PP No 18/1965 santunan belum daat diserahkan atau ditangguhkan sambil menunggu Putusan Hakim/Putusan Pengadilan


c.   Kasus Tabrak Lari Terlebih dahulu dilakukan penelitian atas kebenaran kasus kejadiannya

d.   Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Kereta Api

1)  Berjalan kaki di atas rel atau jalanan kereta api dan atau menyebrang sehingga tertabrak kereta api serta pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang mengalami kecelakaan akibat lalu lintas perjalanan kerata api, maka korban terjamin UU No 34/1964.

2)   Pejalan kaki atau pengemudi/penumpang kendaraan bermotor yang dengan sengaja menerobos palang pintu kereta api yang sedang difungsikan sebagaimana lazimnya kerata api akan lewat , apabila tertabrak kereta api maka korban tidak terjamin oleh UU No 34/1964


No.
   

Sifat Cidera
   

Santunan sesuai PMK No.36/PMK.010/2008

1
   

Meninggal Dunia
   

Rp 25.000.000,-

2
   

Luka-luka
   

Rp 10.000.000,-

3
   

Cacat Tetap
   

Rp 25.000.000,-

4
   

Biaya Penguburan

( apabila tidak ada ahli waris )
   

Rp 2.000.000,-


   


Besarnya santunan ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI No 36/PMK.010/2008 tanggal 26 Februari 2008 adalah:


Namun, pemberian hak pada korban tersebut tidak berarti tidak mengenal batas waktu (kadaluarsa) atau pengecualian. Hak santunan menjadi gugur / kadaluwarsa jika :

a.    Permintaan diajukan dalam waktu lebih dari 6 bulan setelah terjadinya kecelakaan.

b.   Tidak dilakukan penagihan dalam waktu 3 bulan setelah hak dimaksud disetujui oleh jasa raharja.

Beberapa pengecualian yang dimaksud, yaitu :

a.       Dalam hal kecelakaan penumpang umum atau lalu lintas jalan

1)     Jika korban atau ahli warisnya telah memperoleh jaminan berdasarkan UU No 33 atau 34/1964

2)    Bunuh diri, percobaan bunuh diri atau sesuatu kesengajaan lain pada pihak korban atau ahli waris

3)    Kecelakaan-kecelakaan yang terjadi pada waktu korban sedang dalam keadaan mabuk atau tak sadar, melakukan perbuatan kejahatan ataupun diakibatkan oleh atau terjadi karena korban memiliki cacat badan atau keadaan badaniah atau rohaniah biasa lain.


b.   Dalam hal kecelakaan yang terjadi tidak mempunyai hubungan dengan resiko kecelakaan penumpang umum atau lalu lintas jalan

1)  Kendaraan bermotor penumpang umum yang bersangkutan sedang dipergunakan untuk turut serta dalam suatu perlombaan kecakapan atau kecepatan

2)     Kecelakaan terjadi pada waktu di dekat kendaraan bermotor penumpang umum yang bersangkutan ternyata ada akibat gempa bumi atau letusan gunung berapi, angin puyuh, atau sesuatu gejala geologi atau metereologi lain.

3)  Kecelakaan akibat dari sebab yang langsung atau tidak langsung mempunyai hubungan dengan, bencana, perang atau sesuatu keadaan perang lainnya, penyerbuan musuh, sekalipun Indonesia tidak termasuk dalam negara-negara yang turut berperang, pendudukan atau perang saudara, pemberontakan, huru hara, pemogokan dan penolakan kaum buruh, perbuatan sabotase, perbuatan teror, kerusuhan atau kekacauan yang bersifat politik atau bersifat lain.

4)      Kecelakaan akibat dari senjata-senjata perang

5)    Kecelakaan akibat dari sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan sesuatu perintah, tindakan atau peraturan dari pihak ABRI atau asing yang diambil berhubung dengan sesuatu keadaan tersebut di atas, atau kecelakaan yang disebabkan dari kelalaian sesuatu perbuatan dalam penyelenggaraan tersebut.

6)    Kecelakaan yang diakibatkan oleh alat angkutan penumpang umum yang dipakai atau dikonfliksi atau direkuisisi atau disita untuk tujuan tindakan angkatan bersenjata seperti tersebut di atas

7)    Kecelakaan yang diakibatkan oleh angkutan penumpang umum yang khusus dipakai oleh atau untuk tujuan-tujuan tugas angkatan bersenjata.

8)      Kecelakaan yang terjadi sebagai akibat reaksi atom



c.  Kecelakaan tunggal tidak ada lawan sehingga tidak ada yang menjamin, karena sebetulnya jika kecelakaan 2 kendaraan bermotor yang 1 mendapat santunan (pihak yang tdk bersalah) dan yang 1 (pihak yang bersalah) tidak mendapatkan secara otomatis melainkan atas kebijakan Direksi. Hal ini yang tidak banyak diketahui masyarakat sehingga masyarakat berasumsi bahwa kecelakaan 2 kendaraan bermotor, kedua-duanya mendapat santunan.


2.11 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Dapat Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan dan Keamanan Pelayaran


Transportasi laut menjadi sarana paling utama bagi negara kepulauan. Indonesia yang memiliki jumlah uang pulau tersebar luas membutuhkan sarana transportasi laut yang memadai. Namun sebagai negara maritim sistem transportasi laut Indonesia masih belum optimal. Ini terbukti dengan banyaknya jumlah kasus kapal laut yang mengalami kecelakaan dan menelan banyak korban jiwa. Penyebab kecelakaan beragam, mulai dari kebakaran, tabrakan sampai kapal tenggelam.

Sebuah dasar hukum telah menaungi jaminan keamanan dan keselamatan dalam pelayaran, yakni UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang menyatakan bahwa keselamatan dan keamanan pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim. Meskipun telah ada dasar hukum, berbagai kecelakaan di laut tetap tak bisa di hindari dan semakin marak terjadi, faktor yang sering menyebabkan terjadinya kecelakaan di laut diantaranya adalah:


1.                   Faktor teknisbiasanya terkait dengan kekurangcermatan di dalam desain kapal, penelantaran perawatan kapal sehingga mengakibatkan kerusakan kapal atau bagian-bagian kapal yang menyebabkan kapal mengalami kecelakaan, atau pelanggaran terhadap ketentuan dan peraturan atau prosedur yang ada.

2.                     Faktor cuaca buruk merupakan permasalahan yang biasanya dialami seperti badai, gelombang yang tinggi yang dipengaruhi oleh musim atau badai, arus yang besar, kabut yang mengakibatkan jarak pandang yang terbatas.Terjadinya perubahan iklim saat ini, mengakibatkan kondisi laut menjadi lebih ganas, ombak dan badai semakin besar sehingga sering mengakibatkan terjadinya kecelakaan di laut.

3.                    Faktor manusia itu sendiri yaitu kecerobohan di dalam menjalankan kapal, kekurangmampuan awak kapal dalam menguasai berbagai permasalahan yang mungkin timbul dalam operasional kapal, secara sadar memuat kapal secara berlebihan.


Kondisi ini diperparah oleh lemahnya tingkat pengawasan dari para pemangku kebijakan. Di Indonesia telah berlaku ketentuan yang mengatur tentang jaminan keamanan dan keselamatan di laut, yakni UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, namun ternyata undang-undang tersebut masih memerlukan beberapa perubahan.


Kecelakaan kapal biasanya tidak disebabkan oleh hanya satu faktor, namun gabungan faktor manusia, cuaca dan teknis. Faktor manusia sering dikatakan sebagai penyebab utama kecelakaan, baik sebagai operator maupun pengambil keputusan. Namun apabila ditinjau dari sudut pandang hukum, pada dasarnya telah ada undang-undang yang menjamin keselamatan dan kemanan pelayaran, namun ketentuan tersebut belum dilaksanakan secara optimal, undang-undang ini juga penting untuk segera diubah, hal itu disebabkan ketentuan dari undang-undang tersebut belum menguraikan secara jelas mengenai keselamatan kapal ditinjau dari batas muatan kapal dan alat kelengkapan keselamatan.


Perubahan dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah suatu hal yang wajar dan sudah semestinya selalu dilakukan. perubahan terjadi ketika adanya kesenjangan antara keadaan atau peristiwa dengan aturan yang berlaku. Jika objek yang diatur berubah maka dituntut perubahan hukum untuk menyesuaikan agar peraturan efektif dalam pelaksanaannya. Apabila terjadi perubahan dalam suatu keadaan atau peristiwa tanpa diiringi perubahan hukum maka akan terjadi stagnasi hukum yang mengakibatkan ketidakefektifan hukum dalam pelaksanannya.


Begitupula pada UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang tidak secara optimal memberikan jaminan keamanan dan keselamatan di laut, hal ini dikarenakan tidak adanya ketentuan yang dimuat secara jelas mengatur mengenai keselamatan kapal. Ada dua hal utama yang menyangkut keselamatan dan keamanan kapal yang tidak dimuat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, hal tersebut adalah:


1.       Tidak adanya ketentuan yang mencantumkan mengenai batas muatan kapal


Batas muatan kapal adalah sesuatu yang paling penting untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran, kelebihan muatan suatu kapal bisa menjadikan kapal itu overcapacity atau kelebihan muatan yang beresiko menganggu keseimbangan kapal sehingga mengakibatkan kapal tenggelam. Dengan adanya standarisasi dalam ketentuan perundang-undangan secara mendetail mengenai jumlah muatan yang harus disesuaikan dengan kapasitas kapal akan mengurangi resiko kecelakaan akibat kelebihan muatan pada kapal. Dalam hal ini juga dibutuhkan kesadaran dari pihak pengelola kapal agar tidak hanya menyadari adanya aturan namun bisa menataatinya dengan lebih mengutamakan keselamatan penumpang dan awak kapal dari pada keuntungan yang diperoleh dari banyaknya muatan yang bisa mengakibatkan kapal overcapacity.


2.         Tidak adanya ketentuan mengenai jumlah sekoci penolong dan alat keselamatan lainnya yang harus ada di kapal.


Ketika kapal sudah mengalami gejala-gejala akan terjadinya kecelakaan, sekoci penolong dan berbagai alat keselamatan lain menjadi kebutuhan utama untuk menyelamatkan nyawa para penumpang dan awak. Namun banyak kapal-kapal saat ini yang menyediakan sekoci dan alat-alat keselamatannya lainnya, namun dalam jumlah terbatas dan dalam sebagian besar dalam keadaan rusak. Keadaan akan semakin parah ketika kapal memiliki kelebihan muatan sehingga memiliki banyak penumpang untuk diselamatkan sementara alat-alat penunjang keselamatan hanya dalam jumlah terbatas.


Menurut Konvensi Internasional (Safety Of Life At Sea) SOLAS, Chapter III, jumlah alat-alat penolong yang harus ada di kapal yaitu :Life Boat (sekoci penolong) yang harus cukup untuk 50% dari jumlah pelayar pada setiap sisi, Life Raft (Rakit Penolong)untuk kapal penumpang sejumlah yang cukup untuk 25% dari jumlah pelayar pada setiap sisi, Life Buoy (Pelampung Penolong)untuk kapal penumpang tergantung dari panjang kapal, Life Jacket (Rompi Penolong)satu buah untuk tiap pelayar ditambah untuk anak-anak, suatu jumlah yang cukup oleh Administrator, Buoyant Apparatus (alat-alat apung lainnya)untuk kapal penumpang adalah sejumlah yang dapat menampung 3% dari jumlah pelayar.


Maka dari itu, diperlukan standariasi dalam peraturan perundang-undangan dalam hal ini UUNomor 17 Tahun 2008 untuk disediakannya alat-alat penunjang keselamatan lain. Hal tersebut mengacu pada ketentuan dalam konvensi internasional tentang keselamatan jiwa di laut Safety of Life at Sea (SOLAS) 1974, yang disepakati pada tanggal 1 November 1974 dan berlaku sejak 25 Mei 1980 melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 tahun 1980 tentang mengesahkan “international convention for the safety of life at sea, 1974″ sebagai hasil koferensi internasional tentang keselamatan jiwa di laut 1974.


Sudah waktunya pemerintah mengkaji kembali UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran dan melakukan perubahan dalam bentuk penambahan ketentuan yang mengatur mengenai batas jumlah muatan kapal dan kelengkapan alat-alat keselamatan pada kapal.


    2.12 Ketentuan Keselamatan Penerbangan dalam Peraturan Penerbangan Nasional Indonesia


  Keselamatan dan keamanan penerbangan (di Indonesia) merupakan tanggung jawab semua unsur baik langsung maupun tidak langsung, baik regulator, opertaor, pabrikan, pengguna dan kegiatan lain yang berkaitan dengan transportasi penerbangan tersebut. Namun demikian keberadaan tanggung jawab yang sifatnya konseptual tersebut perlu diwujudkan, salah satu caranya adalah dengan adanya kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan oleh pemerintah dan instansi-instansinya di bidang transportasi, khususnya transportasi udara atau penerbangan.


Secara umum beberapa peraturan di bidang penerbangan tanah air adalah sebagai berikut:


1.      Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara (OPU)


OPU mengatur tentang dokumen angkutan udara, tanggung jawab pengangkut kepada pihak kedua (penumpang dan pemilik barang kiriman) dan besaran nilai ganti rugi, dan tanggung jawab pihak ketiga dan besaran nilai ganti rugi. Sebagian ketentuan dalam Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara dinyatakan tidak berlaku lagi, kerena telah disempurnakan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Ketentuan dalam Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara yang disempurnakan meliputi: (1) tanggung jawab pengangkut kepada pihak kedua (penumpang dan pemilik barang kiriman) dan besaran nilai ganti rugi, dan (2) tanggung jawab pihak ketiga dan besaran nilai ganti rugi.





2.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan


Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan dan sebagian dari Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengatur tentang asas dan tujuan dari penyelengaran penerbangan, kedaulatan atas wilayah udara, pembinaan penerbangan sipil, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara serta penggunaan sebagai jaminan hutang, penggunaan pesawat udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, bandar udara, pencarian dan pertolongan kecelakaan serta penelitian sebab-sebab kecelakaan pesawat udara, angkutan udara, dampak lingkungan, penyidikan dan ketentuan pidana.


Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut kemudian ditetapkan: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan. Sedangkan peraturan pelaksana yang lebih rinci dan teknis yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri dan Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan.


3.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan


Seiring dengan tingkat keselamatan transportasi di Indonesia yang telah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan banyaknya kecelakaan transportasi dan seolah telah menjadi berita yang wajar sehari-hari di media massa, tidak terkecuali transportasi udara, pembahasan mengenai perubahan undang-undang mengenai transportasi pun menjadi bagian yang hangat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia khususnya untuk bidang transportasi penerbangan, karena meskipun secara kuantitatif kecelakan di sini lebih sedikit tetapi dampak kecelakaan yang lebih jauh, membuatnya lebih menjadi perhatian khalayak ramai.


Rancangan mengenai Undang-Undang ini mulai dibahas sejak Juni 2008, dengan muatan rangkuman dari berbagai sumber, antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992, artikel-artikel yang relevan dalam tulisan ilmiah populer maupun yang terdapat dalam annal of air and space law, usulan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU), dokumen ICAO mengenai perubahan iklim global, kasus kecelakaan pesawat serta bahan dan hasil workshop yang berkaitan dengan penegakan hukum di bidang transportasi udara.


Menurut K. Martono, pengajuan revisi terhadap Undang-Undang ini berdasarkan pertimbangan pola pikir antara lain bahwa ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 sebagian sudah tidak relevan dan perlu dirubah, serta perlu adanya ketentuan-ketentuan yang ditambahkan berkenaan dengan perkembangan ketentuan internasional mengenai penerbangan. Hingga akhirnya Undang-Undang Penerbangan yang baru ini berlaku mulai 12 Januari 2009,[27] walaupun demikian sesuai dengan ketentuan penutup, diperlukan waktu setidak-tidaknya tiga tahun untuk memberlakukannya secara efektif.


Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, maka OPU dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi, namun ketentuan pasal 464 Undang-Undang Penerbangan yang baru tersebut menyatakan bahwa peraturan pelaksana bagi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 yang digantikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti pengaturannya pada dalam Undang-Undang Penerbangan yang baru.


Mengingat keselamatan dan keamanan merupakan bagian dari asas dalam penyelenggaraan transportasi, maka pengaturannya pun merupakan bagaian yang mengalami revisi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, keselamatan dan keamanan selama penerbangan khusus dalam pesawat udara diatur dalam BAB VIII mengenai Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara, Bagian keempat dari Pasal 52 sampai dengan Pasal 57. Kemudian secara umum mengenai keselamatan penerbangan yang memuat program, pengawasan, penegakan hukum, manajemen dan budaya keselamatan diatur dalam BAB XIII Pasal 308 sampai dengan Pasal 322. Selanjutnya aturan pelaksana mengenai ketentuan keselamatan dalam Undang-undang ini menggunakan Peraturan Menteri mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten selama penerbangan, budaya keselamatan dan pemberian sanksi administratif.


                                                         



BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan


1.      UU Lalu Lintas dan Angkutan jalan secara eksplisit mengatur mengenai  korban kecelakaan lalu lintas  sebagaimana dijelaskan pada Pasal 240  bahwa korban kecelakaan lalu lintas berhak mendapatkan, Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah,Ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas, Santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi.

2.      Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Dapat Memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.

3.      UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang tidak secara optimal memberikan jaminan keamanan dan keselamatan di laut, hal ini dikarenakan tidak adanya ketentuan yang dimuat secara jelas mengatur mengenai keselamatan kapal. Ada dua hal utama yang menyangkut keselamatan dan keamanan kapal yang tidak dimuat dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, hal tersebut adalah:

a.       Tidak adanya ketentuan yang mencantumkan mengenai batas muatan kapal

b.      Tidak adanya ketentuan mengenai jumlah sekoci penolong dan alat keselamatan lainnya yang harus ada di kapal.

4.      Ketentuan Keselamatan Penerbangan dalam Peraturan Penerbangan Nasional Indonesia.

a.       Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara (OPU)

b.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan

c.       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan




DAFTAR PUSTAKA


 http://prabusetiawan.blogspot.com/2009/05/hukum-pengangkutan.html


 http://prabusetiawan.blogspot.com/2009/05/hukum-pengangkutan.html


 http://argawahyu.blogspot.com/2011/06/hukum-pengangkutan.html


 http://dc433.4shared.com/doc/Sw-_tq81/preview.html

  http://masriadam.blogspot.com/2012/10/perlindungan-hukum-orban-kecelakaan.html

http://hidayaninhii.wordpress.com/2014/10/01/urgensi-perlindungan-hukum-terhadap-keselamatan-dan-keamanan-pelayaran-melalui-pembaharuan-undang-undang-nomor-17-tahun-2008-tentang-pelayaran/


http://seelawman.blogspot.com/2010/03/normal-0-false-false-false.html


No comments :

Post a Comment