SEJARAH HUBUNGAN PERBURUHAN/KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
Dalam literatur hukum perburuhan yang ada, riwayat hubungan perburuhan di Indonesia diawali dengan suatu masa ynag sangat suram yakni, zaman perbudakan, rodi, dan poenale sanksi ( sanksi poenale ).
Perbudakan adalah suatu peristiwa dimana seseorang yang disebut budak melakukan pekerjaan dibawah pimpinan orang lain. Para budak ini tidak mempunyai hak apapun termasuk hak atas kehidupannya. Sebagai contoh peristiwa Sumba tahun 1877, sebanyak 100 orang budak di bunuh karena rajanya meninggal dunia, hal ini dilakukan atas kepercayaan bahwa budak yang dibunuh tersebut akan mengabdi pada tuannya di akhirat.
Terjadi perbudakan di zaman dulu disebabkan karena para raja, pengusaha yang mempunyai ekonomi kuat membutuhkan orang yang dapat mengabdi kepadanya, sementara penduduk miskin yang tidak berkemampuan secara ekonomis saat itu cukup banyak yang disebabkan karena rendahnya kualitas sumber daya manusia, sehingga tidak mengherankan perbudakan hidup tumbuh dengan subur.
Perbudakan sebagai bentuk pengerahan tenaga kerja yang tidak manusiawi dan tercela tersebut mulai mendapat perhatian Gubernur Jendral Inggris yang berkuasa saat itu yakni T.S Raffles yang dikenal anti perbudakan, upaya untuk penghapusan perbudakan saat itu dilakukan engan mendirikan suatu lembaga yang disebut The Java benevolent Institution.
Selain perbudakan dikenal juga istilah penghambaan dan Peruluran. Perhambaan terjadi bila seorang penerima gadai menyerahkan dirinya sendiri atau orang lain yang ia kuasai, atas pemberian pinjaman sejumlah uang kepada seseorang pemberi gadai. Pemberi gadai mendapat hak untuk meminta dari orang yang digadaikan agar melakukan pekerjaan untuk dirinya sampai uang pinjamannya lunas. Pekerjaan yang dilakukan bukan untuk mencicil utang pokok tapi untuk kepentingan pembayaran bunga. Sedangkan Peruluran adalah keterikatan seseorang untuk menanam tanaman tertentu pada kebun/ladang dan harus dijual hasilnya kepada kompeni. Selama mengerjakan kebun/ladang tersebut ia dianggap sebagai pemiliknya, sedangkan bila meninggalkannya maka ia kehilangan hak atas kebun tersebut.
Rodi merupakan kerja paksa yang dilakukan oleh rakyat untuk kepentingan pihak penguasa atau pihak lain dengan tanpa pemberian upah, dilakukan di luar batas perikemanuasaan. Pada kerajaan-kerajaan di Jawa, rodi itu dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, para kepaala, dan pegawai serta kepentingan umum seperti pembuatan dan pemeliharaan jalan, jembatan atau sebagainya. Hendrik Willem Daendels (1807-1811) adalah tersohor karena kerja paksanya untuk membuat jalan dari Anyer sampai Banyuwangi. Jumlah penduduk yang mati karenanya tidak terbilang.
Poenale sanksi terjadi karena adanya kebijakan Agrarische Wet tahun 1870 yang berimplikasi pada ketersediaan lahan perkebunan swasta yang sangat besar. Untuk menjamin perusahaan ini mendapatkan buruh yang tetap dapat melakukan pekerjaan maka di dalam Algemenen Politie Strafreglement dicantumkan ketentuan (stb 1870 no. 111) yang menetapkan bahwa buruh yang tiada dengan alasan yang dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaan dapat di pidana dengan denda antara Rp 16 sampai Rp 25., atau dengan kerja paksa selama 7 sampai 12 hari. Pengenaan hukuman kepada buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan inilah yang disebut dengan “Poenale Sanksi”.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa riwayat timbulnya hubungan perburuhan it dimulai dari peristiwa pahit yakni penindasan dan perlakuan di luar batas berkemampuan secara sosial ekonomi maupun penguasa pada saat itu. Para bidak/pekerja tidak diberikan hak apap pu, yang ia miliki hanyalah kewajiban untuk menaati perintah dari majikan atau tuannya. Nasib para budak/pekerja hanya dijadikan barang atau objek yang kehilangan hak kodratinya sebagai manusia.
Dalam hukum perburuhan dikenal adanya Pancakrida Hukum Perburuhan yang merupakan perjuangan yang harus dicapai yakni :
1. Membebaskan manusia Indonesia dari perbudakan, perhambaan;
2. Pembebasan manusia Indonesia dari rodi atau kerja paksa;
3. Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari Poenale sanksi;
4. Pembebasan buruh/pekerja Indonesia dari ketakutan kehilangan pekerjaan;
5. Memberikan posisi yang seimbang antara burh/pekerja dan pengusaha.
Krida satu sampai dengan krida ketiga secara yuridis sudah lenyap berrsamaan dengan dicetusnya proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan sehari kemudian yakni 18 Agustus ditetapkannya UUD 1945 yang di dalam pasal 27 ayat (1) memuat jaminan kesamaan warga negara dalam hukum dan pemerintahan. Sedangkan krida ke empat sampai dengan saat ini setidak-tidaknya dari kajian empiris atau sosiologis belum dapat dicapai. Masih banyak terjadi kasus-kasus Pemutusan hubungan Kerja (PHK) yang disebabkan oleh adanya tuntutan dari pihak buruh/pekerja untuk memperjuangkan hak-hak normatifnya, berbuntut pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Sedangkan krida kelima yakni memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha merupakan cita hukum (ius constituendum) dibidang perburuhan yang merupakan yang merupakan tujuan akhir yang akan dicapai.
Untuk mencapai krida keempat yakni membebaskan buruh/pekerja dari takut kehilangan pekerjaan, maupun krida kelima memberikan posisi yang seimbang antara buruh/pekerja dan pengusaha, menurut hemat penulis ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian yakni :
1. Pemberdayaan serikat buruh/pekerja khusunya ditingkat unit/perusahaan.
Serikat buruh/pekerja di tingkat unit/perusahaan ini perlu diberdayakan khususnya dengan memberikan pemahaman terhadap aturan perburuhan/ketenagakerjaan yang ada karena organisasi pekerja ini terletak di garis depan yang membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan pihak perusahaan. Salah satu peraturan yang melindungi pekerja yang harus diketahui adalah yang berkaitan dengan PHK. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK, setiap PHK harus dengan mendapat izin Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) atau berdasarkan UU No. 13 thn 2003 tentang Ketenaga kerjaan harus berdasarkan penetapan dari lembaga penyelesaia perselisihan industrial.
2. Pemberdayaan Pekerja dan Pengusaha.
Pekerja sebagai anggota serikat pekerja perlu diberdayakan sehingga mengetahui hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum termasuk penyadaran pekerja tentang pentingnya organisasi pekerja sebgai sarana memperjuangkan hak dan kepentingannya, karena itu tidak ada pilihan lain untuk meningkatkan bargaining positionnya kecuali dengan memperkuat organisasi buruh/pekerja.
3. Penegakan hukum ( law enforcement ).
Penegakkan hukum sangat penting dalam rangka menjamin tercapainya kemanfaatan (doelmatigheid) dari aturan itu. Tanpa penegakkan hukum yang tegas maka aturan normatif tersebut tidak akan berarti, lebih-lebih dalam bidang perburuhan/ketenagakerjaan di mana para pihak yang terlibat di dalamnya terdiri dari dua subjek hukum yang berbeda secara sosial ekonomis.
4. Secara Normatif
Meninjau kembali beberapa ketentuan perundang-undangan perburuhan/ketenagakerjaan nasional yang saat ini masih berlaku yang kurang memberikan perlindungan bagi bekerja khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan perburuhan/ketenagakerjaan. Penyelesaian perselisihan perburuhan melalui institusi Panitia penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) sebagaimana atur dalam UU No. 12 tahun 1964 tentang PHK jo. UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan belum dapat memberikan perlindungan bagi buruh/pekerja. Hal ini karena putusannya yang menggambang merupakan akibat tidak dapat dilakukannya eksekusi secara langsung dan masih memungkinkan untuk digugat lagi ke Peradilan Tata Usha Negara karena dikategorikan sebagai banding administratif ( penjelasan pasal 48 ayat 1 UU No. 5 thn 1986 ttg Peradilan Tata Usaha Negara). Sehingga prosedur yang harus dilewati dalam penyelesaian sengketa perburuhan/ ketenagakerjaan ini tidak dapat memenuhi harapan sesuai dengan asas peradilan cepat, mudah, dan biaya ringan.
Upaya untuk mengganti perundang-undangan yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat di bidang ketenagakerjaan tersebut sudah dilakukan sejak tahun 1998 dan melibatkan berbagai komponen termasuk organisasi pekerja, pengusaha, LSM, dan para pakar yang melahirkan dua rancangan undnag-undang yakni RUU pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan (PPK) dan RUU tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Kedua RUU ini sudah mendapat pembahasan di DPR. Dari hasil pembahsan tersebut hanya RUU pembinaan dari Perlindungan Ketenagakerjaan yang sudah berhasil dirampungkan pembahasannya atau telah diundangkan melalui UU No. 13 thn 2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan RUU PPHI mengalami hambatan karena penolakan dari kalangan pekerja dan pengusaha.
Dalam RUU tersebut setidaknya dapat dicatat 4 hal penting yang sebelumnya tidak diatur yakni :
1. Adanya pengaturan yang jelas mengenai batas waktu penyelesaian perselisihan industrial melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi yakni paling lama 40 hari.
2. Tidak memungkinkan adanya campur tangan pemerintah dalam penyelesaian perselisihan karena adanya pengaturan mengenai penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan para pihak melalui mediasi, konsiliasi, dan arbitrasi.
3. Memungkinkan setiap pekerja untuk menjadi para pihak dalam penyelesaian perselisihan, hal ini sejalan dengan UU No. 21 thn 2001 mengenai organisasi pekerja/buruh yang didalamnya mengatur mengenai hak untuk tidak menjadi anggota serikat pekerja.
4. Lebih menjamin rasa keadian bagi pekerja maupun pengusaha karena penyelesaian yang ditawarkan dapat dilakukan melalui jalur nonlitigasi maupun litigasi, dengan demikian memungkinkan para pihak untuk memilih jalur penyelesaian sesuai dengan yang diinginkannya.
SUMBER BACAAN :
“Pengantar Hukum Ketenagakerjaan indonesia Edisi Revisi” Oleh Lalu Husni, SH., M.Hum. halaman 1-10.
No comments :
Post a Comment