Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Wednesday 8 June 2016

CONTOH MAKALAH IDI HUKUM TENTANG HUKUM PIDANA DALAM ISLAM

No comments


A.    Pengertian Hukum Pidana Dalam Islam

Hukum pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayah atau jarimah. Jinayah merupakan bentuk verbal noun (masdar) dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan salah. Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah. Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al Qur’an dan Hadist. Tindakan kriminal dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang menggangu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al Qur’an dan Al Hadits.

Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun di akhirat. syari’at Islam dimaksud secara materiil mengandung kewajiban asasi bagi setiap manusia untuk melaksankannya. Konsep kewajiban asasi syari’at yaitu menempatkan Allah sebagai pemegang segala hak, baik yang ada pada diri sendiri maupun yang ada pada orang lain. Setiap orang hanya pelaksana, yang berkewajiban memenuhi perintah Allah. Perintah Allah dimaksud, harus ditunaikan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

Dalam bahasa Indonesia pengertian jinayah sering disebut dengan istilah peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Istilah jinayah atau jarimah sering pula digunakan oleh para fuqaha. Istilah jarimah mempunyai kandungan arti yang sama dengan istilah jinayah, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Dari segi bahasa jarimah merupakan kata jadian (masdar) dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jarimah mempunyai arti perbuatan salah.

Fiqih jinayah sebagaimana dikemukakan oleh imam Al Mawardi adalah sebagai berikut:

الجَرَائِمُ مَحْظُوْرَاتٌ شَرْعِيَّةٌ زَجَرَاللهُ تَعَالَى عَنْهَا بِحَدِّ اَوْ تَعْزِيْرٍ
 
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.

Hukuman had adalah suatu sanksi yang ketentuannya sudah dipastikan oleh nas. Adapun hukuman ta’zir adalah hukuman yang pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa.Hukum ta’zir dijatuhkan dengan mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana, situasi dan kondisi masyarakat, serta tuntutan kepentingan umum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukuman ta’zir diterapkan tidak secara definitif, melainkan melihat situasi dan kondisi, bagaimana perbuatan jarimah terjadi, kapan waktunya, siapa korbannya dan sanksi apa yang pantas dikenakan demi menjamin ketentraman dan kemaslahatan umat.
Dalam istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah, menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut:

فَالْجِنَايَةُ اِسْمٌ لِفِعْلٍ مَحَرَّمٍ شَرْعًا , سَوَاءٌ وَقَعَ الْفِعْلُ عَلَى نَفْسٍ اَوْ مَالٍ اَوْغَيْرِ ذَلِكَ
 
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, dan lainnya.

Jadi pengertian jinayah adalah semua perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan yang dilarang atau dicegah oleh syara’ (Hukum Islam). Apabila dilakukan perbuatan tersebut mempunyai konsekuensi membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta benda.

B.    Unsur atau Rukun Hukum Pidana Dalam Islam

Pengertian jinayah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah peristiwa pidana , delik atau tindak pidana. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut diancam hukuman.

Larangan-larangan berasal dari Syara’, maka larangan-larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khitab), dan dengan demikian orang tersebut mampu memahami pembebanan (taklif)dari syara’. Perbuatan-perbuatan merugikan yang dilakukan orang gila, anak kecil tidak dapat dikategorikan sbagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima khitab atau memahami taklif. Dari sinilah dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah. Unsur atau rukun jinayah trsebut adalah:

1.    Unsur Formal (al-Rukn al-Syar’i)

Yang dimaksud dengan unsur formal adalah adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tersebut yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas. Adanya undang-undang atau nash, artinya setiap perbuatan tidak dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dipidana kecuali adanya nash atau undang-undang yang mengaturnya. 

Dalam hukum positif masalah ini dikenal dengan istilah asas legalitas, dalam KUHP Pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dianggap melawan hukum dan pelakunya tidak dapat dikenai sanksi sebelum adanya peraturan yang mengundangkannya. Adanya ketentuan syara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash (ayat) yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud. Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum perbuatan dilakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut datang setelah perbuatan terjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan. Kaidah yang mendukung unsur ini adalah “tidak ada perbuatan yang dianggap melanggar hukum dan tidak ada hukuman yang dijatuhkan kecuali adanya ketentuan nash”. Kaidah lain menyebutkan “tiada hukuman bagi perbuatan mukalaf sebelum adanya ketentuan nash”. Dalam hal ini berlakulah kaidah-kaidah berikut:

الْاَ صْلُ فِي الْاَشْيَاءِ اَلْاِبَا حَةِ
 
Artinya:
“Pada dasarnya segala sesuatu itu boleh.”

لاَجَرِيْمَةَ وَلَاعُقُوْبَةَ بِلَا نَصٍّ
 
Artinya:
“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash (aturan).”

لَاحُكْمَ لِاَفْعَالِ الْعُقَلَاءِ قَبْلَ وُرُوْدِ النَّصٍّ
 
Artinya:
“Tidak ada hukuman bagi orang-orang yang berakal sebelum turunnya ayat.”

Dalam asas legalitas seperti dijelaskan diatas “tidak ada hukuman bagi perbuatan mukalaf sebelum adanya ketentuan nash”, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikenai tuntutan atau pertanggung jawaban pidana sebelum diundangkan dan dikenai oleh orang banyak. Ketentuan ini member peringatan, bahwa hukum pidana islam baru berlaku setelah adanya nash yang mengundangkan. Dengan kata lain, bahwa hukum pidana islam tidak mengenal system berlaku surut.

2.    Unsur material (al-Rukn al-Madi)

Adanya unsur perbuatan yang membentuk jinayah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah “unsur material”. Yang dimaksud unsur material adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Kalau kita kembalikan kepada kasus diatas bahwa pencurian adalah tindakan pelaku memindahkan atau mengambil barang milik orang lain, tindakan pelaku tersebut adalah unsur material yaitu perilaku yang membentuk jarimah. Dalam hukum positif, perilaku tersebut disebut sebagai unsur objektif, yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum.

3.    Unsur Moral (al-Rukn al-Adabi)

Unsur moral yaitu adanya niat pelaku untuk berbuat jarimah. Unsur ini menyangkut tanggung jawab pidana yang hanya dikenakan atas orang yang telah baligh, sehat akal dan ikhtiar (berkebebasan berbuat).Unsur ini juga disebut dengan al-mas’uliyyah al jiniyyah atau pertanggung jawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu, pembuat jarimah (tindak pidana, delik) haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang yang diasumsikan memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang yang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khithab (panggilan) pembebanan (taklif). Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memhami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang merekan lakukan. Haliman dalam disertasinya menambahkan, bahwa orang yang melakukan tindak pidana dapat dipersalahkan dan dapat disesalkan, artinya bukan orang gila, bukan anak-anak dan bukan karena dipaksa atau karena pembelaan diri.

C.    Ruang Lingkup Hukum Pidana Islam

Ruang lingkup hukum pidana Islam meliputi pencurian, perzinaan (termasuk homoseksual dan lesbian), menuduh orang yang baik-baik berbuat zina (al-qadzaf), meminum minuman memabukkan (khamar), menuduh dan/atau melukai seseorang, pencurian, merusak harta seseorang, melakukan gerakan-gerakan kekacauan dan semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan (Jarimah).Literatur lain menyebutkan ruang lingkup meliputi sebagai berikut : 

•    Asas Legalitas;
•    Jarimah;
•    Hukuman;
•    Jarimah zina dan tuduhan zina;
•    Jarimah pencurian dan perampokan;
•    Jarimah minum-minuman keras;
•    Jarimah pembunuhan;
•    Qishas;
•    Diyat;
•    Jarimah Ta’zir;
•    Pidana dan Perdata hukum islam. 

D.    Macam – Macam Hukum Pidana Islam

1.    Jarimah ditinjau dari Segi Berat Ringannya Hukuman. 

a.    Jarimah Hudud, adalah jarimah yang hukumannya telah ditentukan dalam nash al-Qur’an atau Sunnah Rasul serta menjadi hak Allah smata . Menurut Imam Hanafi Yang termasuk jarimah ini ialah pencurian (al-Sariqah), perampokan (al-Hirabah), pemberontakan (al-Bughat), zina (al-Zina), menuduh zina (al-Qadaf), minum-minuman keras (al-Sakr) dan Murtad (al-Riddah). 

Sedangkan menurut Sedangkan menurut Imam Syafi’I jarimah hudud ada 7, yaitu selain yang tersebut diatas ditambah riddah (murtad), dan baghyu (pemberontakan).

1.    Zina

Hukuman untuk zina ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Hukuman bagi pelaku ina yang belum menikah (ghoiru muhsan) didasarkan pada ayat Al-Qur’an Surat An-Nur : 2, yaitu :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Sedangkan bagi orang yang sudah menikah (muhsan) hukum nya menurut para ahli Hukum Islam adalah rajam (dilempari batu) sampai mati. Hukuman ini didasarkan pada hadits Nabi SAW.

2.    Qadzaf (menuduh palsu zina)

Dalam Islam, kehormatan merupakan satu hak yang harus dilindungi. Oleh sebab itu, tuduhan ina yang tidak terbukti dianggap sengat berbahaya dalam masyarakat.Menurut ilmu bahasa qadzaf berarti melempar, sedangkan menurut istilah ialah menuduh orang baik-baik berbuat zina secara terang-terangan. Perbuatan itu termasuk dosa besar. Perbuatan qodzaf sebagai delik terdapat dalam ketentuan QS. An-Nur  : 4 sebagai berikut :

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Para ulama’ sepakat bahwa pelaku delik qodzaf yang diterapi hukuman ini adalah orang mukalaf, baik laki-laki maupun perempuan. Hukuman dera bagi qodzif ini menjadi gugur kalu sitertuduh benar-benar telah melakukan zina; atau sitertuduh telah mengakui sendiri, atau sitertuduh memaafkan sipenuduh.

3.    Sariqoh (pencurian)

Ketentuan delik sariqoh ini ditetapkan dalam QS. Al-Maidah : 38 sebagai berikut :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Mengenai kadar nilai barang yang dicuri (nisab) menurut Imam Syaukani terdapat beberapa pendapat. Ada yang berpendapat dua dirham; 5 dirham; 10 dirham; ¼ dinar; 1 dinar; ada juga yang berpendapat 4 dinar. Menurut ijma’ ulama nisab pencurian itu sebanyak : 53, 76 gram perak. 

Para ulama telah sepakat bahwa hukuman pada pencurian pertama dipotong pergelangan tangan sebelah kanan. Kemudian jika kedua kalinya mencuri lagi dipotong kaki kiri, ketiga kali tangan kiri, dan yang keempat kaki kanan.  Kalu masih mencuri lagi di ta’zir (kurung).

4.    Minuman yang memabukkan (Asyribah)

Nama yang diberikan kepada delik ini bermacam-macam. Buchori memberikan nama syarbul chomri (peminum anggur). Larangan meminum minuman memabukkan didasarkan QS. Al-Maidah : 90

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

Al-Qur’an tidak menegaskan hukuman bagi pelakunya. Hal itu diletakkan oleh Nabi yang melalui sunnah fi’liyahnya diketahui bahwa hukuman dari jarimah ini adalah 40 kali dera. Abu Bakar mengikuti jejak ini. 

Tetapi, Umar ibnul Khaththab menjatuhkan 80 kali dera. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, sanksi memunum khamr adalah 80 kali dera, sedangkan Imam Syafi’I adalah 40 dera, tetapi ia kemudian menambahkan bahwa Imam boleh menambah menjadi 80 kali dera. Jadi yang 40 kali adalah hukuman had, sedangkan sisanya adalah hukuman ta’zir.

5.    Al-Hirabah (Perampok/Pengacau Keamanan)

 Hukuman bagi jarimah ini ditegaskan dalam ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah : 33

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,”

Sanksi bagi perampok adalah bila hanya mengambil harta dengan paksa dan tidak membunuh, maka sanksinya adalah potong tangan dan kaki secara bersilang. Bila hanya membunuh, tidak mengambil harta, maka sanksinya hukuman mati. 

Menurut Imam Malik, sanksi hirabah ini diserahkan kepada Imam untuk memilih salah satu hukuman yang tercantum dalam ayat di atas sesuai dengan kemaslahatan. Menurut Imam Syafi’I, Imam Ahmad, dan Imam Zaidiyah bagi pelaku yang mengambil harta dan membunuh maka hukumannya adalah dihukum mati lalu disalib. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, keputusan ditentukan oleh Ulil Amril, sesuai dengan ayat tersebut.

6.    Ar-Riddah (Murtad)

Nash yang berkaitan dengan murtad ini dalam Al-Qur’an adalh QS. Al-Baqarah : 217

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu Dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

Dalam satu hadits Nabi SAW. menyatakan bahwa : “Tidak diijinkan menghilangkan nyawa seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan bahwa aku adalah utusan-Nya, kecuali dalam tiga perkara : orang yang sudah menikah yang berzina, jiwa dengan jiwa, dan orang yang keluar dari agamanya (Islam) ….” Dalam hadits lain diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda : “barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” (HR. Bukhori dari Ibnu Abbas)

7.    Al-Baghy (Pemberontakan)

Larangan sekaligus ancaman hukuman bagi perbuatan ini dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Hujarat : 9 – 10

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil.”(9)

“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”(10)

Sedangkan dalam Hadits dinyatakan : “Barang siapa mendatangimu sedang urusanmu berada pada tangan seorang pemimpin untuk mengoyak kekuatanmu atau memecahbelah jamaahmu, maka bunuhlah ia” (HR. Muslim dari Urfa’iah Ibn Syuriah)

Ulama Syafi’iyah berkata, “Pemberontakan adalah orang-orang Muslim yang menyalahi Imam dengan cara tidak menaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi, dan memiliki pemimpin.

b.    Jarimah Qisas, adalah kejahatan yang dapat dikenai hukuman qishash atau diyat. Qishash artinya balasan yang sepadan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku seperti perbuatan yang telah dilakukannya kepada korban. Misalnya hukuman bagi pembunuh diqishash dengan cara dibunuh, hukuman bagi pelaku yang melukai yang menyebabkan orang lain cacat diqishash seperti perbuatannya (misalnya : qishash mata dengan mata, tangan dengan tangan, dan seterusnya).

Qishash diatur dalam Al Quran antara lain:

QS. Al Baqarah, 2:178

“Hai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapatkan pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksaan yang pedih”.

Sedangkan Diyat adalah ganti rugi akibat dari suatu perbuatan pidana (jinayat). Misalnya, orang yang membunuh dengan tidak sengaja dihukum dengan diyat berupa memerdekakan hamba sahaya dan membayar 100 ekor unta kepada keluarga korban.

Diyat diatur dalam Al Quran yaitu:

“………….. dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaknya) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), ….
(An-Nisa, 4:92)

c.    Jarimah Ta’zir, adalah jarimah yang tidak dipastikan ketentuannya dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Jarimah ta’zir ada yang disebutkan dalam nash, tetapi macam hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa untuk menentukan hukuman tersebut. Jarimah ta’zir ini dibagi menjadi 3, yaitu : 

1. Jarimah-hudud atau qishash/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat. Contohnya, percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian di kalangan keluarga dll.

2. Jarimah yang ditentukan oleh Al-qur’an dan Hadits namun tidak ditentukan sanksinya. Misalnya, penghinaan, saksi palsu, tidak amanah dll. 

3. Jarimah yang ditentukan oleh ulil amri demi kemaslahatan umum.

2.    Jarimah ditinjau dari Segi Niat. 

Dari segi niatnya, jarimah dibagi kepada dua bagian, yaitu : 

1)    Jarimah Sengaja. 

Menurut Muhammad Abu Zahrah, yang dimaksud jarimah sengaja adalah suatu jarimah yang dilakukan oleh seseorang dengan kesengajaan dan atas kehendaknya serta ia mengetahui bahwa perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan hukuman. 

2)    Jarimah Tidak Sengaja. 

Abdul Qadir Audah mengemukakan jarimah tidak sengaja adalah jarimah dimana pelaku tidak sengaja (berniat) untuk melakukan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kelalaiannya (kesalahannya). 

3.    Jarimah ditinjau dari Segi Waktu Tertangkapnya.

Dari segi waktu tertangkapnya, jarimah itu dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu :
1)    Jarimah Tertangkap Basah
2)    Jarimah yang Tidak Tertangkap Basah
4.    Jarimah ditinjau dari Segi Cara Melakukannya. 

Dari segi cara melakukannya, jarimah dibagi dua bagian : 

1)    Jarimah Positif
Jarimah karena melakuakan perbuatan yang dilarang. Dalam hukum positif jarimah ini disebut delik commissionis. 

2)    Jarimah Negatif
Jarimah karena meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dalam hukum positif disebut delikta commissionis. 

5.    Jarimah ditinjau dari Segi Objeknya. 

Dari segi objek atau sasaran yang terkena oleh jarimah, maka jarimah dibagi menjadi dua bagian : 

1)    Jarimah Perseorangan 

Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi hak perseorangan (individu).

2)    Jarimah Masyarakat Jarimah masyarakat adalah jarimah dimana hukuman terhadap pelakunya dijatuhkan untuk melindungi kepentingan masyarakat.  

6.    Jarimah ditinjau dari Segi Tabiatnya atau Motifnya. 

Dari segi watak atau tabiatnya, dibagi menjadi dua bagian : 

1)    Jarimah Biasa
Jarimah biasa yaitu jarimah yang dilakukan oleh seseorang tanpa mengaitkannya      dengan tujuan-tujuan politik. 

2)    Jarimah Politik
Menurut Muhammad Abu Zahrah, Jarimah politik adalah jarimah yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah atau terhadap garis-garis politik yang telah ditentukan oleh pemerintah.

E.    Asas-Asas Hukum Pidana Dalam Islam

1.      Asas Legalitas

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip, sedangkan kata “legalitas” berasal dari bahasa Latin yaitu lex (kata benda) yang berarti undang-undang. Dengan demikian arti legalitas adalah “keabsahan sesuatu menurut undang-undang”. Secara historis asas legalitas pertama kali digagas oleh Anselm van Voirbacht dan penerapannya di Indonesia dapat dilihat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan peraturan perundang-perundangan pidana”.

Adapun secara istilah asas legalitas dalam syariat islam tidak ditentukan secara jelas sebagai mana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana positif. Bukan berarti syariat islam tidak mengenal asas legalitas. Bagi pihak yang menyatakan bahwa hukum pidana islam tidak mengatur asas legalitas, hanyalah mereka yang belum meneliti secara detail berbagai ayat yang secara substansial menunjukkan adanya asas legalitas. Bertolak dari polemik tentang ada atau tidaknya asas legalitas dalam hukum pidana islam, maka perlu adanya pernyataan yang tegas, yaitu bagaimana eksistensi asas legalitas  tidak ditentukan secara tegas dalam hukum pidana islam, namun secara substansial terdapat ayat Al Quran dan kaidah yang mengisyaratkan adanya asas sebagai berikut:    

‘’Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukum bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat”

“ Asal segala sesuatu adalah diperbolehkan sampai ada dalil yang melarang”

Adapun ayat Al Quran yang menyatakan asas legalitas:

“Dan tidaklah kami mengadzab suatu kaum sampai kami mengutus seorang utusan” (Al Isra:15) 

“Tidaklah seseorang diberi cobaan kecuali sesuai dengan kemampuannya” (Al Baqarah:286)

Kesimpulannya Asas legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Dalam hukum pidana Islam, asas legalitas juga berlaku. Selama tidak ada hukum yang mengatur, maka suatu perbuatan tidak akan dikenakan sanksi pidana.

      2.      Asas Larangan Memindahkan Kesalahan Kepada Orang Lain

Asas ini adalah asas yang menyatakan bahwa setiap perbuatan manusia, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat akan mendapatkan imbalan yang setimpal. Asas ini terdapat didalam berbagai surah dan ayat Al Quran, diantaranya:   

“Dan tidak ada pembawa beban akan menanggung beban orang lain. Dan jika panggilan jiwa yang sarat [lain] untuk [membawa beberapa dari] beban, apa-apa akan dilakukan, bahkan jika ia harus menjadi kerabat dekat. Anda hanya bisa memperingatkan orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tak terlihat dan melakukan doa ditetapkan. Dan barangsiapa memurnikan dirinya hanya memurnikan dirinya untuk [kepentingan] jiwanya. Dan Allah adalah [akhir] tujuan”(Fatiir:18)

Adapun ayat-ayat yang terkait dengan asas ini adalah Surah Al An’aam ayat 165, Surah Az Zumar ayat 7, Surah An Najm ayat 38, Surah Al Mudatsir ayat 38. Contoh Surah Al Mudatsir ayat 38 tersebut Allah menyatakan bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang dibuat oleh orang lain.

 3.      Asas Praduga Tak Bersalah

Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan tegas kesalahannya itu. Asas ini diambil dari ayat-ayat Al Quran yang menjadi sumber asas legalitas dan asas larangan memindahkan kesalahan pada orang lain yang telag disebutkan.

Konsep ini telah diletakkan dalam hukum islam jauh sebelum dikenal dalam hukum-hukum pidana positif. Empat belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hindarkan bagi muslim hukuman hudud kapan saja kamu dapat dan bila kamu dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum”. 

4.      Tidak sahnya Hukuman karena Keraguan

Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah diatas adalah batalnya hukuman karena adanya keraguan (doubt). Nash hadist jelas dalam hal ini: “Hindarkan hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan daripada salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum”  Abdul Qadir ‘sudah memberi contoh dari keraguan itu dalam kasus pencurian, misalnya suatu kecurigaan mengenai kepemilikan dalam pencurian harta bersama. Jika seseorang mencuri sesuatu yang dia miliki bersama orang lain, tetapi melibatkan persangkaan adanya kepemilikan dari pelaku perbuatan itu. Contoh lainnya adalah pencurian harta milik seseorang oleh ayahnya sendiri.



Sumber :

Materi kelompok 6 yang didapat dari berbagai sumber di internet.

(Wallahu'alam)






No comments :

Post a Comment