Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Friday 10 April 2015

SEJARAH HUKUM LAUT INTERNASIONAL

No comments


  Uraian mengenai sejarah hukum Internasional perlu diawali dengan pembahasan mengenai berbagai fungsi laut bagi umat manusia. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai fungsi antara lain sebagai berikut : 1) Sumber makanan bagi manusia, 2) Jalan raya perdagangan, 3) Sarana untuk penaklukan, 4) Tempat pertempuran-pertempuran, 5) Tempat bersenang-senang, 6) Alat pemisah atau pemersatu bangsa. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ( iptek), maka fungsi laut telah bertambah lagi dengan ditemukannya bahan-bahan tambang dan galian yang berharga di dasar laut dan usaha-usaha mengambil sumber daya alam.

Bertitik tolak dari uraian diatas dapat ditemukan bahwa laut dapat digunakan oleh umat manusia sebagai sumber daya alam bagi penghidupannya, jalur pelayaran, kepentingan pelayaran, kepentingan pertahanan dan keamanan dan pelbagai kepentingan lainnya. Fungsi-fungsi laut yang disebut di atas telah dirasakan oleh umat manusia, dan telah member dorongan terhadap penguasaan dan pemanfaatan laut oleh masing-masing negara atau kerajaan yang didasarkan atas suatu konsepsi hukum.

Lahirnya konsepsi hukum laut internasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari sejarah pertumbuhan hukumlaut internasional yang mengenal pertarungan antara konsepsi, yaitu :

a.       Res Communis, yang menyatakan bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, dank arena itu tidak dapat diambil atau memiliki oleh masing-masing negara;

b.      Res Nulius, yang menyatakan bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, dan karena itu dapat diambil dan dimiliki oleh masing-masing negara.


Pertumbuhan dan perkembangan kedua dokrin tersebut diawali dengan sejarah panjang mengenai penguasaan laut oleh Imperium Roma. Kenyataan bahwa Imperium Roma menguasai tepi Lautan Tengah dan karenanya menguasai seluruh Lautan Tengah secara mutlak. Dengan demikian, menimbulkan suatu keadaan di mana Laut Tengah menjadi lautan yang bebas dari gangguan bajak-bajak laut, sehingga semua orang dapat mempergunakan Laut Tengah dengan aman dan sejahtera yang dijamin oleh pihak Imperium Roma. Pemikiran hukum bangsa Romawi terhadap laut didasarkan atas dokrin res communis omnium ( hak bersama seluruh umat manusia ), yang memandang penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang. Asas res communis omnium di samping untuk kepentingan pelayaran, menjadi dasar pula untuk kebebasan menangkap ikan.

Di sisi lain, dalam melaksanakan kekuasaannya di laut, banyak tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dalam pendangan orang Romawi laut itu dapat dimilki, dimana zaman itu hak penduduk pantai untuk menangkap ikan di perairan dekat pantainya telah diakui.  Pemilikan suatu kerajaan dan negara atas laut yang berdekatan dengan pantainya disasarkab atas konsepsi res nulius.

Menurut konsepsi res nullius, laut bisa dimiliki apabila berhasrat memilikinya bisa menguasai dengan mendudukinya. Penduduk ini dlam hukum perdata Romawi dikenal sebagai okupasi ( occupation). Keadaan yang dilukiskan diatas berakhir dengan runtuhnya Imperium Romawi dan munculnya pelbagai kerajan negara di sekitar Laut Tengah yang masing-masing merdeka dan berdiri sendiri yang satu lepas dari yang lain. Walaupun penguasaan mutlak Laut Tengah oleh Imperium Romawi sendiri telah berakhir, akan tetapi pemilikan lautan oleh negara-negara dan kerajaan tetap menggunakan asas-asas hukum Romawi.

Berdasarkan uraian diatas, jelas kiranya bahwa bagi siapa pun yang mengikuti perkembangan teori hukum internasional, asas-asas hukum Romawi yang disebutkan diatas memang mengilhami lahirnya pemikiran hukum laut internasional yang berkembang di kemudian hari. Dapatlah dikatakan bahwa kedua konsepsi hukum laut Romawi itu merupakan hukum laut internasional tradisional yang menjadi embrio bagi dua pembagian laut yang klasik, laut territorial dan laut lepas.

Dalam konteks kedaulatan negara atas laut, pertumbuhan dan perkembangan hukum laut internasional setelah runtuhnya Imperium Romawi diawali dengan munculnya tuntutan sejumlah negara atau kerajaan atas sebagian laut yang berbatasan dengan pantainya berdasarkan alas an yang bermacam-macam. Misalnya, Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, suatu tuntutan yang diakui oleh Paus Alexander III pada tahun 1177. Berdasarkan kekuasaannya atas laut Adriatik ini, Venetia memungut bea terhadap setiap kapal yang berlayar disana.

Dalam pertumbuhan hukum laut internasioanl berikutnya, sejarah perkembangan hukum laut internasional telah mencatat suatu peristiwa penting, yaitu Paus Alexander VI pada tahun 1493 atas tuntutan Spanyol dan Portugal, yang membagi samudera di dunia untuk kedua negara itu dengan batasnya garis meridian 100 leagues ( kira-kira 400 mil laut ) sebelah barat Azores. Sebelah barat dari meridian tersebut  ( yang mencakup Samudera Atlantk Barat , Teluk Mexico, dan Samudera Pasifik ) menjadi milik Spanyol, sedangkan sebelah timurnya ( yang mencakup Samudera Atlantik sebelah selatan Maroko dan samudera India) menjadi milik Portugal. Pembagian Paus Alexander VI tersebut di atas diperkuat dengan perjanjia Todesillas antara SPanyol dan Portugal pada tahun 1494, tetapi dengan memindahkan garis perbatasannya menjadi 370 leagues  sebelah barat pulau-pulau Cape Verde dipantai barat Afrika. Sedangkan , negara-negara lain, seperti Denmark telah pula menuntut laut Baltik dan Laut Utara antara Norwergia dan Iceland, dan Inggris telah menuntut pula laut di sekitar kepulauan Inggris ( Mare Anglicanum) sebagai milik masing-masing.

Pembagian dua laut dan samudera di dunia untuk Spanyol dan Portugal dengan menutup laut-laut tertentu bagi pelayaran internasional merupakan awal dari era penjajahan kedua kerajaan tersebut di Amerika Selatan. Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa ternyata pembagian dua laut dan samudera, serta klaim keempat kerajaan di Eropa Barat mengenai konsepsi hukum laut tertutup ( mare Clausum) mendapat tantangan dari Belanda yang memperjuangkan asas kebebasan berlayar (freedom of navigation) yang didasarkan atas pendirian bahwa lautan itu bebas untuk dilayari oleh siapapun. Belanda yang diwakili oleh Hugo Grotius ( selanjutnya di sebut Grotius ), yaitu Bapak Hukum Internasional yang memperjuangkan asas kebebasan laut dengan cara yang paling gigih walaupun bangsa Inggris dengan Ratu Elisabeth-nya lebih dikenal dengan sebagai perintis kebebasan laut ini. Perjuangan armada-armada Belanda dan Inggris melawan armada-armada Spanyol dan Portugal dilautan akhirnya menjadi asas kebebasan pelayaran ini menjadi suatu kenyataan. Perkembangan penting dalam hukum laut internasional yang perlu dicatat adalah pertarungan antara penganut dokrin laut bebas (mare liberium) dan laut tertutup (mare clausum).

Dokrin laut bebas ( lepas) yang diwakili oleh Gratius, didasarkan pada teorinya mengenai lautan bahwa pemilikan, termasuk atas laut hanya bisa terjadi melalui possession. Possession ini hanya bisa terjadi melalui okupasi, dan okupasi hanya bisa terjadi atas barang-barang yang dapat dipegang teguh. untuk dapat dipegang teguh maka barang-barang tersebut harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang tidak mempunyai batas, sehingga laut itu tidak dapat diokupasi sebab ia cair dan tidak terbatas. Barang cair hanya bisa dimiliki dengan memasukkannya ke dalam sesuatu yang lebih padat. Dengan demikian, maka tuntutan atas laut yang didasarkan pada penemuan, penguasan tidaklah dapat diterima karena semua itu bukanlah alasan untuk memperolah pemilikan atas laut. Meskipun demikian, Gratius mengakui bahwa anak-anak laut dan sungai-sungai, sekalipun cair, dapat dimiliki karena ada batas-batasnya di mana tepinya dapat dianggap sebagai sesuatu yang lebih padat.

Prinsip kebebasan laut yang dikemukakan oleh Grotius mengakui bahwa dalam bukunya Make Liberium, dibidang pelayarna telah digunakan oleh Belanda untuk menerobos masuk ke Samudera India dalam usahanya memperluas perdagangan ke Nusantara. Peristiwa ini membuka jalan bagi Belanda untuk menguasai dan menjajah Indonesia selama tiga ratus lima puluh tahun, Oleh karena itu,sama halnya dengan penguasaan negara atas laut yang dilakukan oleh Spanyol dan Portugal, Belanda juga mempunyai agenda dan tujuan politik untuk menguasai negara-negara lainnyam khususnya Indonesia.

Dokrin Grotius, Mare Liberium, telah menimbulkan reaksi hebat dari penulis Inggris John Selden, yang memandang bahwa bagian-bagian laut tertentu dapat dimiliki oleh negara-negara pantai. Menurut Selden, occupation memang unsur yang sangat penting dalam possession, sekalipun sejarah telah membuktikan bahwa negara-negara telah menjalankan kekuasaan mereka atas kelautan. Atas dasar itu, melalui prescription, laut itu bukanlah mare liberium, tetapi adalah mare clausum. Sifat laut yang cair , menurut Selden  tidaklah menyebabkannya tidak dapat dimiliki karena sungai dan perairan disepanjang pantai yang dapat diakui dan dapat dimiliki. Sejarah kemudian memmbuktikan bahwa baik mare clausum maupun mare liberium tidak dapat mempertahankan ajaran masing-masing dengan kaku dan konsekuen. Akhirnya tercapai kompromi di mana Grotius sendiri mengakui bahwa laut sepanjang pantai suatu negara dapat dimiliki sejauh yang dapat dikuasai dari darat. Benih-benih kompromi tersebut juga ada pada ajaran Selden yang mengakui adanya hak lintas damai di laut-laut yang dituntut. Kebebasan laut juga diterima oleh Inggris, karena armada laut Inggris sudah mulai tumbuh dan mengurangi seluruh semudra di dunia.

Dilihat dari sejarah perkembangan hukum international sejak zaman Romawi, rezim laut teritorial sudah merupakan bagian penting dari  hukum kebiasaan internasional.Sementara dalam konteks  kebebasan di laut, ajaran Grotius yang di dasarkan atas dokrin rec communis ominium telah meletakkan dasar bagi perkembangan pemikiran hukum laut internasional modern tentang kebebasan dilaut lepas yang dikenal zaman sekarang. Tercapainya kompromi antara penganut dokrin laut tertutup dan laut bebas, dengan diakuinya pembagian laut ke dalam laut territorial yang jatuh dibawah kedaulatan penuh suatu negara pantai dan laut lepas yang bersifat bebas untuk seluruh umat manusia, telah menyelesaikan pertentangan antar negara mengenai laut.

Patut disimak bahwa persoalan laut teritorial ini dibicarakan dan dibahs dalam konferensi Den Haag tahun 1930 tentang Laut Teritorial. Konferensi ini di dahului dengan pembentukan Panitia Persiapan pada tahun 1929 yang menyusun dasar perbincangan ( bases of discussion ) dari konferensi. Sebelum konferensi Den Haag diadakan, panitia persiapan ini menyusun rancangan pasal-pasal perihal laut territorial dan jalur tambahan. Dasar perbincangan konferensi itu anata lain menyebutkan bahwa suatu negara memiliki kedaulatan atas suatu jalur laut yang dinamakan laut teritorial.

No comments :

Post a Comment