"KUALIFIKASI DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL"
1). Istilah-istilah
2). Pengertian dan Problematika Kualifikasi Fakta/ Hukum dalam HPI
Kualifikasi adalah bagian dari proses yang hampir pasti dilalui karena dengan kualifikasi, orang mencoba untuk menata sekumpulan fakta yang dihadapinya (sebagai persoalan hukum), mendenifikasikannya dan kemudian menempatkannya kedalam suatu katagori yuridik tertentu. Ada dua jenis kualifikasi, yaitu :
• Kualifikasi fakta (classification of facts)
Yaitu proses kualifkasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta yang dihadapi dalam sebuah peristiwa hukum (atau perkara) untuk ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa atau masalah hukum (legal issue), sesuai dengan sistem klasifikasi kaidah-kaidah hukum yang berlaku didalam suatu sistem hukum tertentu.
• Kualifikasi hukum ( legal classification )
Yaitu penetapan tentang penggolongna/ pembagian seluruh kaidah hukum di dalam suatu hukum ke dalam pembidangan, pengelompokan atau katagori hukum tertentu.
Macam-macam kualifikasi
1. Kwalifikasi menurut lex fori
1. Kwalifikasi menurut lex fori
Menurut pendirian ini kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil sang hakim. Pengertian-pengertian yang dihadapi dalam kaidah-kaidah HPI harus dikwalifikasikan menurut sistem hukum negara asing hakim sendiri. Tokoh-tokohnya adalah Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Prancis). Franz kahn lebih lanjut menyatakan bahwa kualifikasi harus dilakukan berdasarkan lex fori karena ada alasan-alasan :
a. Kesederhanaan ( simplycity)
Kesederhanaan ( simplycity) sebab jika kualifikasi dilakukan dengan menggunakan lex fori, pengertian, batasan dan konsep-konsep hukum yang digunakan dalam penyelesaian perkara adalah pengertian-pengertian yang paling dikenal oleh hakim.
b. Kepastian (certainty)
Kepastian (certainty) sebab pihak-pihak yang berperkara akan telah mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa atau hubungan hukum apakah perkaera mereka akan dikualifikasikan oleh hakim beserta segala kosekuensi yuriknya.
Teori kualifikasi lex fori dianggap memiliki keunggulan karena dapat menyebabkan perkara lebih mudah diselesaikan, mengingat digunakannya konsep-konsep hukum lex fori yang paling dikenal oleh hakim. Dilain pihak kelemahan teori ini adalah kemungkinan terjadinya ketidakadilan kerena kualifikasi adakalanya dijalankan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan menggunakan ukuran-ukuran yang tidak dikenal sama sekali oleh sistem hukum tersebut.
Contoh kasus dalam kualifikasi lex fori : ogden vs Ogden (1908)
Kasus posisi :
a. Philip, pria warga negara Prancis, berdomisili di Prancis, dan berusian 19 tahun;
b. Philip menikah dengan sarah (wanita) yang berwarganegaraan Inggris;
c. Pernikahan Philip dan Sarah dilangsungkan dan diresmikan di Inggris (tahun 1898);
d. Philip menikah dengan Sarah tanpa izin orang tua Philip. Izin orang tua ini diwajibkan oleh hukum Prancis ( Pasal 148 Code civil);
e. Pada tahun 1901 Philip pulang ke Prancis dan mengajukan permohonan dipengadilan Prancis untuk pembatalan perkawinannya dengan Sarah dengan alasan bahwa perkawinan itu dilangsungkan tanpa izin orang tua;
f. Permohonan dikabulkan oleh pengadilan Prancis dan Philip kemudian menikah dengan seorang wanita Prancis di Prancis;
g. Sarah kemudian menggugat Philip di Inggris karena Philip dianggap melakukan perzinaan dan meninggalkan istrinya terlantar. Gugatan itu ditolak karena alasan yuridiksi.
h. Pada tahun 1904, Sarah sudah merasa tidak terikat dalam perkawinan denga Philip, kemudian menikah kembali dengan Odgen dilangsungkan di Inggris.
i. Pada tahun 1906 Odgen menggangap bahwa Sarah masih terikat dengan perkawinan dengan Philip karena berdasarkan hukum Inggris perkawinan Philip dan Sarah belum dianggap batal karena keputusan pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris
j. Odgen kemudian mengajukan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar hukum bahwa istrinya telah berpoligami
k. Permohoan diajukan di pengadiolan Inggris
Proses penyelesaian sengketa :
1) Untuk menerima atau menolak Odgen, maka hakim harus menentukan terlebih dahulu apakah perkawinan Philip dengan Sarah adalah sah atau tidak. Dalam hal titik-titik tau menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai hukum dari tempat peresmian perkawinan dah hukum Prancis karena salah satu pihak (Philip) adalah pihak yang berdomisili di Prancis;
2) Pokok perkaranya mengenai izin orang tua sebagai persyaratan perkawnan terutama dalam menetapkan apakah Philip memang memiliki kemampuan hukum untuk menikah;
3) Kaidah HPI Inggris menetapkan :
a. Persyaratan esential untuk sahnya perkawinan, temasuk persoalan kemampuan hukum seseorang pria untuk menikah harus daiatur dalam lex domicili ( menunjuk pada hukum Prancis);
b. Persayaratan formal untuk sahnya perkawinan harus tunduk pada hukum dari tempat peresmian perkawinan 9lex leci celebrationis). Jadi dalam halini menunjuk hukum Inggris;
c. Karena hakim pertama-tama menunjuk arah hukum Prancis sebagai lex cause, untuk menentukan kemampuan hukum A untuk menikah, pada tahap ini didasari bahwa berdasarkan Pasal 148 Code civil Prancis dapat disimpulkan laki-laki yang belum berusian 25 tahun tidak dapat menikah, apabila tidak diizinkan oleh orangtuanya. Dengan demikian berdasarkan hukum intern Prancis, tidak adanya izin orang tua harus menyebabkan batalnya perkawinan antara Philip dan Sarah.
4) Dalam kenyataan, hukum Inggris memutus perkara dengan cara berpikir sebagai berikut:
a. Perkawinan antara Philip dan Sarah dinyatakan tetap sah karena “izin orang tua” dikualifikasikan berdasarkan hukum Inggris (lex fori);
b. Berdasarkan penyimpulan diatas, perkawinan antara Sarah dan Odgen dianggap tidak sah karena salah satu pihak Sarah dianggap masih terikat perkaiwinan dengan Philip dan karena itu dianggap poligami;
c. Karena itu, permohonan Odgen kemudian dikabulkan dan perkawinan Odgen dan Sarah dibatalkan oleh pengadilan Inggris.
3) Kualifikasi secara otonom
Kualifiaksi ini berdasarkan methodos comparative (perbandingan hukum). Tokoh dari teori ini adalah Ernst Rabel (Jerman) dan Beckett ( Inggris). Teori ini pada dasarnya bertitik tolak dari penolakan mereka terhadap asumsi yang melatarbelakangi suatu kaidah HPI itu hanya hukum intern dari forum. Menurut penganut teori ini, dalam tindakan kualifikasi terhadap kumpulan fakta harus dilakukan secara terlepas dari kaitannya pada suatu sistem hukum lokal/nasional tertentu (besifat otonom). Artinya, dalam HPI seharusnya dikembangkan konsep-konsep (begrip) hukum yang khas dan dapat berlaku secara umum serta mempunyai makna yang sama dimanapun di dunia.
4) . Kualifikasi primer dan sekunder
1) Kwalifikasi secara primer
Kwalifikasi secara primer adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan. Untuk dapat menentukan hukum asing manakah yang dipergunakan harus dilakukan kualifiasi menurut kaidah-kaidah HPI dari lex fori. Kaidah-kaidah HPI dari lex fori ini harus di kualifikasi menurut hukum materiil dari Hakim.
2) Kwalifikasi secara sekunder
Apabila sudah mengetaui hukum asing manakah yang harus dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang sudah dikemukan itu.
5). Pengecualian- pengecualian terhadap pemakaian kualifikasi lex fori
a. Kualifikasi kewarganegaraan tidak dilakukan menurut hukum dari forum hakim;
b. Kualifikasi mengenai “bergerak atau tidak bergerak” suatu benda ditentukan oleh “lex rei sitae” (lex situs);
c. Kualifikasi suatu kontrak menurut “maksud para pihak “ bidang perjanjian, maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki;
d. Kualifikasi dari “perbuatan melanggar hukum;
e. Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara” berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaidah HPI, maka pengertian-pengertian dalam persetujuan-persetujuan internasional itu. Kualifikasi ini dilakukan secara terlepas dari lex fori masing-masing negara peserta;
f. Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh makamah-makamah internasional dilakukan menurut ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk mahkamah-mahkamah interasional bersangkutan.
1) Kwalifikasi secara primer
Kwalifikasi secara primer adalah kualifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang harus dipergunakan. Untuk dapat menentukan hukum asing manakah yang dipergunakan harus dilakukan kualifiasi menurut kaidah-kaidah HPI dari lex fori. Kaidah-kaidah HPI dari lex fori ini harus di kualifikasi menurut hukum materiil dari Hakim.
2) Kwalifikasi secara sekunder
Apabila sudah mengetaui hukum asing manakah yang harus dipergunakan, maka perlu dilakukan kualifikasi lebih jauh menurut hukum asing yang sudah dikemukan itu.
5). Pengecualian- pengecualian terhadap pemakaian kualifikasi lex fori
a. Kualifikasi kewarganegaraan tidak dilakukan menurut hukum dari forum hakim;
b. Kualifikasi mengenai “bergerak atau tidak bergerak” suatu benda ditentukan oleh “lex rei sitae” (lex situs);
c. Kualifikasi suatu kontrak menurut “maksud para pihak “ bidang perjanjian, maka pihak-pihak adalah bebas menentukan sendiri hukum yang mereka kehendaki;
d. Kualifikasi dari “perbuatan melanggar hukum;
e. Jika ada persetujuan-persetujuan antara negara” berupa konvensi-konvensi mengenai kaidah-kaidah HPI, maka pengertian-pengertian dalam persetujuan-persetujuan internasional itu. Kualifikasi ini dilakukan secara terlepas dari lex fori masing-masing negara peserta;
f. Kualifikasi pengertian-pengertian yang digunakan oleh makamah-makamah internasional dilakukan menurut ketentuan-ketentuan umum yang berlaku untuk mahkamah-mahkamah interasional bersangkutan.
sumber :
http://hukumperdatainternational2014.blogspot.co.id/2014/12/kualifikasi.html (diakses pada Selasa, 29 Maret 2016).
No comments :
Post a Comment