"SEKILAS TENTANG NEGARA HUKUM "
Pemikiran atau konsepsi manusia merupakan anak zaman yang lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan dengan berbagai pengaruhnya. Pemikiran atau konsepsi manusia tentang negara hukum juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, tetapi pada daratan implementasi ternyata memiliki karakteristik beragam. Hal ini karena pengaruh-pengaruh situasi kesejahteraan tadi, di samping pengaruh falsafah bangsa, ideologi negara dan lain-lain. Arah dasar itu, secara historis dan praktis, konsep neagar hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Al-Qur'an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep sosialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila. [1] Konsep-konsep negara hukum ini memiliki dinamika sejarahnya masing-masing. Meskipun demikian, tulisan ini hanya melakukan "moment opname" terhadap sejarah kemunculan negara hukum khususnya Eropa Kontinental (rechtsstaat), yang memiliki kaitan langsung dengan kemunculan ilmu Hukum Administrasi Negara.
Secara emrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia menulis Nomoi , sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya, sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. [2] Gagasan Plato tentang negara hukum ini semakin tegas ketika di dukung oleh muridnya, Aritoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Menurut Aritoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.Menurutnya ada tiga unsur pemeritahan yang berkonstitusi, yaitu pertama , pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakn atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. Dalam kaitannya dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan, konstitusi merupakan aturan-aturan dan penguasa harus mengatur negara menurut aturan-aturan tersebut. [3]
Gagasan negara hukum tersebut masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke -19, yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl, yang diilhami oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) adalah sebagai berikut:
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan. [4]
Pada wilayah Anglosakson, muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari A.V. Dicey, dengan unsur-unsur sebagai berikut:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law ); tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; dan
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undnag-undang (di negara lain oleh undabg-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan. [5]
Adanya unsur "peradilan administrasu dalam perselisihan" pada konsep rechtsstaat, sementara pada konsep rule of law unsur itu tidak ada, menunjukkan adanya hubungan histori atara konsep negara hukum Eropa Kontinental dengan sistem hukum Romawi dan kemunculan Hukum Admnistrasi Negara. Berkenaan dengan adanya hubungan histori ini, Philipus M. Hadjon mengemukakan sebagai berikut :
"Konsep rechsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut " civil law " atau "Modern Roman Law" , sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum yang disebut "common law" . Karakteristik civil law adalah administratif sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada aman Romawi, kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administratif yang membuat pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus syatu sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi, sehingga tidaklah menghenrankan kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama muncul cabang hukum baru yang disebut "droit administratif" dan inti dari droit administratif adalah hubungan antara administrasi dengan rakyat.... di kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi negara (Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi)". [6]
Sehubungan dengan adanya unsur equality before the law pada rule of law yang berlaku sama terhadap pejabat maupun warga negara. maka Hukum Administrasi Negara sebagai hukum yang secara khusus mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negara dianggap asing bagi masyarakat Inggris. Dalam konteks ini A.V. Dicey mengatakan,"In England we know nothing of administrative law, and we wish to know nothing".
Dalam perkembangannya konsepsi negara hukum tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat unsur-unsurnya sebagai berikut : [7]
a. Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif;
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaak kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah;
g. Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata seumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
Perumusan unsur-unsur negara hukum dalam sistem Kontinental dan Anglosakson di atas tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualismem yang bertumpu pada kebebasan (liberty) individu dan hanya dibatasi oleh kehendak bebas pihak lain termasuk bebas dari kesewenang-wenangan penguasa. Oleh karena itu, unsur pembatasan kekuasaan negara untuk melindungi hak-hak individu itu menempati posisi sentral.
Sumber Bacaan dari buku : "Hukum Administrasi Negara" edisi revisi oleh Dr. Ridwan HR halaman 1-5
[1] Tahir Azhary, Negara Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Hlm. 63.
[2] Ibid., hlm. 66.
[3] Dikutip dari Azhary, Negara Hukum Indonesia, (Jakarta: UI-Press,1995), hlm., 20-21.
[4] Dikutip dari Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), hlm. 57-58,Philipus M. Hadjo, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, (Surabaya: Bina Ilmu,1987), hlm., 76-82.
[5] Miriam Budiardjo,op.cit., hlm 58.
[6] Philipus M. Hadjom, op.cit., hlm 73.
[7] Unsur-unsur diambil dan dipadukan dari buku Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 29-30, dan buku Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI, 1988), hlm. 12-14, serta Franz Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, (Jakarta : Gramedia 1997), hlm. 58-59.
No comments :
Post a Comment