Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Wednesday, 4 May 2016

CONTOH MAKALAH HUKUM PERIKATAN DALAM ISLAM

2 comments

HUKUM PERIKATAN DALAM ISLAM

 

Kelompok III
Nur Hidayah     ( 04020130196 )
Awaluddin    ( 04020130174 )
Sandy Alfiar Pattiwael    ( 04020130178 )
Annisa     ( 04020130208 )
Ayuningtyas     ( 04020130214 )

Kelas : C2

FAKULTAS HUKUM
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2016

A.    Pengertian Perikatan Dalam Islam Dan Dasar Hukumnya
Perikatan dalam bahasa Arab terdapat dua istilah, pertama kata ‘aqada artinya menyimpulkan,dalam kamus Al Munawir, Bahasa Arab Indonesia aqad adalah mengikat, dapat juga disebut ‘uquud artinya perjanjian (yang tercatat) kontrak. Kedua ‘ahdu yaitu berjanji. Dari segi bahasa aqad adalah ikatan, mengikat. Ikatan artinya menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali. Fathurrahman Djamil menyamakan kata al ‘aqdu dengan istilah verbintenisdalam KUH Perdata. Sedangkan Istilah al ‘ahdu disamakan dengan perjanjian atau overeenkomst, yaitu pernyataan dari seorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Oleh Quraish Shihab kata ‘uquud diberikata pengertian mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan tidak terpisah dengannya. Dalam Kompilasi hukum Ekonomi Syariah kata aqad diberi perngerttian adalah kesepakatan dalalm suatu perjanjinan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu. Jadi, hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah hukum Islam yang mengatur tentang hubungnan antara dua pihak atau lebih mengenai suatu benda atau barang yang menjadi halal dari suatu objek transaksi.

Menurut para ahli hukum Islam (fuqaha) aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Dengan demikian kaidah-kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan hukum perikatan Islam adalah bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil pemikiran manusia (ijtiha) sebagai implemenatasi dari syariah yaitu fikih. Ini berarti hukum perikatan Islam di satu sisi bersifat hubungan perdata dan di satu sisi yang lain sebagai kepatuhan menjalankan ajaran agama Islam (syari’at Islam). hukum perikatan Islam bersifat religius transendental yang melekat pada kaidah-kaidah yang melingkupi hukum perikatan Islam itu sendiri sebagai pencerminan dari otoritas Allah SWT.

Dasar Hukumnya

    1). Al-Qur’an

Surah Al-Maidah ayat 1


Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.

Surah Ali Imran ayat 76



Artinya :
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya) dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.

2). Hadist

“Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi SAW, ditanya: Apakah pencaharian yang paling baik? Jawabanya: pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur”.

3). Ijma’Ulama

Dalam hukum akad, terjadi perbedaan pendapat dari beberpa ulama mazhab. Salah satunya Mazhab Hambali bahwa akad bebas dilakukan selama tidak ada hal-hal yang jelas dilarang agama. Sedangkan pada Mazhab Hanafi, bahwa akad merupakan hal yang dilarang, kecuali apabila ada keadaan yang membuatnya untuk berakad kepada orang lain (Istihsan). Kemudian mazhab lainnya seperti Syafi’i juga tidak membolehkan akad apabila objeknya belum ada di hadapan pihak yang membutuhkan.

B.    Unsur-Unsur Dan Syarat Perikatan Dalam Islam

Unsur-unsur yang terdapat dalam perikatan sebagaimana dapa definisi aqad yaitu pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Pada definisi terdapat tiga unsur yang terdapat dalam suatu perikatan, yaitu :

1.    Hubungan Ijab dan Qabul 

Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalam pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut pihak lainnya (qaabil). Unsur ijab dan qabul selalu ada dalam suatu perikatan.

2.    Dibenarkan oleh syara’

 Aqad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syara’ (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah). Demikian juga objek akad tidak boleh bertentangan dengan syara’ bila bertengangan maka akad itu tidak sah.

3.    Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya 

Aqad merupakan tindakan hukum (tasharruf), menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan.

syarat-syarat dari perikatan Islam atau akad, yang mana akad akan terjadi apabila telah memenuhi syarat pada: 

1.    Subjek Hukum (aqidain) 

Menurut Ash-Shiddicqy, bahwa kedua belah pihak yang berakad atau melakukan perjanjian harus cakap (ahliyatul aqidaini). Baik itu perorangan maupun dengan badan hukum atau institusi. Tidak akan sah akad apabila dilakukan oleh orang gila , anak kecil yang belum mengetahui, dsb.

2.    Objek Hukum (mahallul aqad) 

Objek akad atau perikatan haruslah dapat diterima secara hukum, terutama hukum Islam. Kemudian selain itu, objek akad terbagi beberapa persyaratan yang harus dipenuhi:

a.    Objek perikatan harus ada ketika dilangsungkan atau tersedia untuk diakadkan dan akad akan berakhir apabila objek tersebut telah diserahkan kepada yang berhak menerima. Islam tidak membolehkan menjual objek yang belum waktunya, seperti menjual anak sapi yang masih dalam kandungan atau menjual buah yang belum masak.

b.    Objek akad atau perikatan dalam Islam harus dibenarkan syari’ah. Tidak dibenarkan objek perikatan yang haram, baik zat maupun cara mendapatkannya. Inilah yang membedakan perikatan Islam dengan perikatan umum.

c.    Objek akad atau perikatan dalam Islam harus jelas dan dapat dikenali dari jenis, bentuk, ukuran, dan urgensi barang tersebut.

d.    Objek dapat diserah terimakan pada saat akad terjadi atau pada waktu yang telah disepakati sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam suatu transaksi.


C.    Prinsip Perikatan Dalam Islam

1.      Al - Hurriyyah (Kebebasan)

Asas ini merupakan prinsip dasar dalam fiqih mu’amalah dan merupakan prinsip dasar pula dalam hukum perjanjian (akad). Pihak-pihak yang melakukan akad mempunyai kebebasan untuk membuat suatu perjanjian, baik dalam menentukan yang diperjanjikan (objek perjanjian) maupun syarat-syaratnya, termasuk menetapkan cara-cara penyelesaian jika terjadi sengketa.

2.      Al – Musawah (Kesetaraan)

Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad mempunyai kedudukan yang sama atau setara antara satu dengan yang lainya. Sehingga, pada saat menentukan hak dan kewajiban masing - masing didasarkan pada asas persamaan atau kesetaraan ini.

3.      Al –‘Adalah (Keadilan)

Keadilan adalah salah satu sifat tuhan dan al-Qur’an menekankan agar manusia menjadikanya sebagai ideal moral. Pelaksanaan asas ini dalam akad dituntut untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan serta memenuhi semua kewajiban yang disepakati dalam perjanjian. Asas ini berkaitan erat dengan asas kesetaraan, meskipun keduanya tidak sama, dan merupakan lawan dari kezaliman adalah mencabut hak  hak kemerdekaan orang lain dan atau tidak memenuhi kewajiban terhadap akad yang dibuat.

4.      Ar- Ridha (Kerelaan)

Asas ini menyatukan segala bentuk transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan semua pihak. Kerelaan antara pihak- pihak yang berakad di anggap sebagai syarat terwujudnya semua transaksi. Jika dalam suatu transaksi asas ini tidak terpenuhi, dipandang telah memakan sesuatu dengan cara yang batil (al-akl bil-bathil). Transaksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai bentuk suatu usaha yang dilandasi saling rela antara pelakunya jika di dalamnya terdapat unsur tekanan, paksaan, penipuan atau ketidak jujuran dalam pernyatan. Jadi, asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam proses transaksi dari pihak manapun.

5.      Ash – Shidiq (Kejujuran atau Kebenaran)

Kejujuran adalah salah satu nilai etika yang mendasar dalam Islam. Islam dengan tugas melarang kebohongan dan penipuan dalam bentuk apapun. Nilai kebenaran ini berpengaruh pada pihak- pihak yang melakukan perjanjian untuk tidak berdusta, menipu dan melakukan pemalsuan, pada saat asas ini tidak terpenuhi, legalitas akad yang dibuat bisa menjadi rusak. Pihak yang merasa dirugikan akibat ketidakjujuran yang dilakukan pihak lainya dalam sebuah akad, dapat menghentikan akad tersebut.

6.      Al – Kitabah (Tertulis)

Prinsip lain yang tidak kalah pentingnya dalam melakukan akad adalah pencatatan. Islam mengisyaratkan agar akad yang dilakukan benar-benar berada dalam kebaikan (bermanfaat) bagi semua pihak yang melakukan akad. Oleh sebab itu, akad harus dilakukan dengan kitabah (penulisan, perjanjian, kontrak), terutama dalam transaksi bentuk tangguh. 

D.    Bentuk-Bentuk Perikatan Dalam Islam

Dilihat dari kaitannya dengan objek perikatan, secara garis besar ada empat macam perikatan:

1.    Perikatan Utang (al Iltizam bi ad Dain) 

Kunci untuk memahami memahami konsep utang dalam hukum Islam adalah bahwa utang dinyatakan sebagai suatu yang terletak dalam dzimmah (tanggungan) sesorang. Sumber-sumber perikatan utang (al Iltizam bi ad Dain) dalam hukum Islam adalah sebagai berikut: yang pertama adalah akad, yang kedua adalah kehendak sepihak seperti wasiat, hibah, nazar yang objeknya adalah sejumlah uang atau benda, dan yang ketiga adalah perbuatan melawan hukum yaitu semua bentuk tanggungan (adh dhaman) yang timbul dari selain akad, seperti pencurian, perusakan yang objeknya adalah barang. Sumber yang keempat adalah pembayaran tanpa sebab, yang kelima adalah syara’ yaitu ketentuan syariah yang menetapkan kewajiban-kewajiban untuk melakukan pembayaran tertentu pada seseorang.

2.    Perikatan Benda (al Iltizam bi al ‘Ain) 

Perikatan benda merupakan suatu hubungan hukum yang objeknya adalah benda tertentu untuk dipindahmilikkan baik bendanya, manfaatnya atau untuk diserahkan atau dititipkan kepada orang lain. Sumber-sumber perikatan benda adalah akad dan ini merupakan sumber paling penting dari perikatan benda, seperti jual beli atau sewa menyewa. Sumber lainnya adalah kehendak sepihak seperti wasiat, dan perbuatan melawan hukum juga dapat dijadikan sumber perikatan benda, seperti kasus gasab.

3.    Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) 

Perikatan Kerja/ Melakukan Sesuatu (al Iltizam bi al ‘Amal) adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak untuk melakukan sesuatu. Sumbernya adalah akad istisna’ dan ijarah. Istisna’ adalah akad untuk melakukan sesuatu dimana bahan dan kerja dilakukan oleh pihak kedua atau pembuat. Sedangkan ijarah merupakan suatu akad atas beban yang objeknya adalah manfaat dan jasa. Akad ijarah ada dua yaitu ijarah al manafi (sewa menyewa) dan ijarah al a’mal (perjanjian kerja).

4.    Perikatan Menjamin (al Itizam bi at Tautsiq) 

Perikatan menjamin merupakan suatu bentuk perikatan yang objeknya adalah menanggung (menjamin) suatu perikatan. Maksudnya pihak ketiga mengikatkan diri untuk menanggung perikatan pihak kedua terhadap pihak pertama. Perikatan yang ditanggung ada tiga macam, yaitu perikatan utang, perikatan benda dan orang yang ditanggung dalam akad al kafalah bi an nafs.

E.    Berakhirnya atau Batalnya Perikatan Dalam Islam

Akad atau perikatan dalam Islam dapat berakhir karena umumnya dua hal, menurut Basyir, bahwa dua hal tersebut adalah telah tercapainya tujuan akad dan fasakh atau waktunya berakhir. Fasakh tersebut berakhir karena sebab-sebab berikut:

1.    Difasakh, karena adanya hal-hal yang dilarang syara’, misalnya objek akadnya diketahui dari hasil yang tidak halal atau jual beli barang yang tidak memenuhi syarat kejelasan barang tersebut (gharar).

2.    Karena pembeli memilih untuk membatalkan jual beli karena sebab-sebab tertentu dalam khiyar, seperti ditemukan ada yang tidak sesuai pada barang yang ia beli seperti adanya kecacatan.

3.    Karena salah satu pihak membatalkan akad dengan catatan ada persetujuan lain. Cara fasakh ini disebut iqalah.

4.    Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya karena overmact, yaitu keadaan yang membuat debitur tidak mampu memenuhi kewajiban dikarenakan faktor-faktor eksternal. Apabila pihak yang seharusnya memenuhi kewajiban dengan sengaja tidak melakukannya, maka dapat dilaporkan ke badan hukum litigasi (peradilan) atau/dan non litigasi (arbitrase) terutama yang telah distandarisasi syari’ah.

5.    Karena habis jangka waktunya, seperti dalam akad sewa manyewa dalam jangka waktu tertentu dengan catatan harus dikembalikan secara utuh apabila dalam penyewaan barang.


KESIMPULAN :

Perikatan dalam Islam adalah suatu hukum yang mengikat seseorang dengan orang lain dalam suatu perjanjian yang diatur secara syari’at Islam. Kaidah-kaidah hukum yang berhubungan langsung dengan hukum perikatan Islam adalah bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil pemikiran manusia (ijtiha) sebagai implemenatasi dari syariah yaitu fikih. Ini berarti hukum perikatan Islam di satu sisi bersifat hubungan perdata dan di satu sisi yang lain sebagai kepatuhan menjalankan ajaran agama Islam (syari’at Islam). hukum perikatan Islam bersifat religius transendental yang melekat pada kaidah-kaidah yang melingkupi hukum perikatan Islam itu sendiri sebagai pencerminan dari otoritas Allah SWT.

Unsur-unsur perikatan dalam Islam sama dengan rukun akad yang disepakati jumhur, yaitu pelaku akad, objek akad, dan ijab-qabul. Syarat-syaratnya pelaku akad harus cakap, objeknya jelas, halal, tersedia, dan dapat diserah terimakan. Asas-asanya yaitu asas ketuhanan, keadilan, kebolehan, kerelaan, tertulis, dsb. Perbedaan perikatan dalam Islam dengan perikatan pada umumnya itu terlihat dari bagaimana perspektif Islam terhadap hukum perikatan itu. Misalnya Islam melarang riba dalam hutang-piutang, yaitu meminta bunga dari pengembalian pinjaman uang. Apabila terjadi perselisihan atau persengketaan, selesaikan di dua badan hukum, pertama pada Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) terlebih dahulu, kemudian ke Peradilan Agama apabila tak dapat diselesaikan di BASYARNAS tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
 
http://masriadimuhammad.blogspot.co.id/2015/05/bab-i-pendahuluan-a.html (Diakses pada hari Selasa, 19 April 2016)

https://kuliahsyariah.wordpress.com/2010/07/08/perikatan-dalam-hukum-islam/
(Diakses pada hari Selasa, 19 April 2016)

http://irham-anas.blogspot.co.id/2012/07/azas-perikatan-akad-islam.html (Diakses pada hari Selasa, 19 April 2016)

2 comments :