Hayoooo....pernah tidak sobat mengatakan "seandainya begini maka pasti begitu".. atau
"seandainya dia berjodoh denganku maka, dia akan selalu bahagia".. atau "Seandainya aku kaya maka, aku akan mengelilingi dunia".. "seandainya dia bersamaku tadi maka, dia tidak akan terjatuh"
eeeee.... pokoknya masih banyak kata seandainya yang sebenarnya memiliki makna yang membuat kita salah paham loh alias dosa juga sih...
Nah... "kok bisa sih.. kan itu hanya perkataans saja?" ..
justru itu daripada bertanya namun, bingung sendiri dengan pertanyaan itu, mari yuks kita cari tahu penjelasan yang Alhamdulillah berhasil saya kutip dari laman grup Grup WA Tholabul'ilmi yang saya ikuti...
sobat.. perlu diketahui dan juga dipahami yah..
kata 'law (seandainya atau andaikata) biasanya kita gunakan dalam beberapa keadaan namun tentu dengan aturan yang berbeda-beda, bukan?
mari kita simak bersama :
1. "Apabila ucapan 'seandainya' digunakan untuk memprotes syari'at dalam hal ini hukumnya haram".
contoh:
"Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap hari".
2. "Apabila ucapan 'seandainya' digunakan untuk menentang takdir. Maka. hal ini juga hukumnya haram".
contoh :
"Seandainya saya tidak demam, tentu saja saya tidak akan kehilangan kesempatan yang bagus ini".
3. "Apabila ucapan 'seandainya' digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumna haram".
contoh :
"Seandainya saya tidak ketiduran. Maka, saya tidak akan ketinggalan pesawat tersebut".
4. Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat. Maka hukumnya Haram.
Seperti Perkataan orang-orang musyrik :
وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ
“Dan mereka berkata : “Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat)”. (QS. Az Zukhruf: 20)
5. Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk berangan-angan. Ini dihukumi sesuai dengan yang diangan angankan. Karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.
Jadi, apabila yang diangan angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat.
Misalnya:
Jadi, apabila yang diangan angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini menjadi tercela dan pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat.
Misalnya:
“Seandainya saya kaya seperti si fulan, tentu setiap hari saya bisa berzina dengan gadis-gadis cantik.”
Namun, apabila yang dianggan angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat).
Misalnya :
Namun, apabila yang dianggan angankan adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat).
Misalnya :
“Seandainya saya punya banyak kitab-kitab, tentu saya akan lebih paham masalah agama”.
Atau kalimat lainya..
“Seandainya saya punya banyak harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak bersedekah.”
6. Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan. Maka ini hukumnya BOLEH.
Contoh:
Contoh:
“Seandainya kamu kemarin menghadiri kajian, tentu kamu akan banyak paham mengenai tata cara berniaga yang baik.”
Haruslah Engkau Yakin, Semua Ini Adalah Takdir Allah
Setelah kita berusaha melakukan yang bermanfaat, lalu tidak lupa memohon pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan :
Setelah kita berusaha melakukan yang bermanfaat, lalu tidak lupa memohon pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, janganlah sampai lisan ini mengatakan :
“Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, …”
Oleh karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan :
Oleh karena itu, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan :
“Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah”
Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan ketetapan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti Dia laksanakan.
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan ketetapan-Nya. Apa saja yang Allah kehendaki, pasti Dia laksanakan.
إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki." (QS. Huud: 107)
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya mencegah kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi.
Akan tetapi, wajib engkau tahu bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak melainkan sesuatu melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau pun sebenarnya kita tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala :
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya mencegah kehendak-Nya. Jika Dia menghendaki sesuatu, pasti terjadi.
Akan tetapi, wajib engkau tahu bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak melainkan sesuatu melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau pun sebenarnya kita tahu. Yang menjelaskan hal ini adalah firman Allah Ta’ala :
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Insan: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak Allah berkaitan dengan hikmah dan ilmu. Betapa banyak perkara yang terjadi pada seseorang, namun di balik itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula Allah Ta’ala berfirman :
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak Allah berkaitan dengan hikmah dan ilmu. Betapa banyak perkara yang terjadi pada seseorang, namun di balik itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula Allah Ta’ala berfirman :
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah: 216)
Banyak cerita mengenai hal ini.
Banyak cerita mengenai hal ini.
Ada sebuah kejadian kecelakaan pesawat terbang.
Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah lebih dari 200 penumpang.
Salah satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang menunggu di ruang keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat.
Ketika pria yang tertidur itu terbangun, ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat pun lepas landas.
Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan pesawat.
Kenapa dia bisa ketinggalan pesawat?
Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah lebih dari 200 penumpang.
Salah satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang menunggu di ruang keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa pesawat sebentar lagi akan berangkat.
Ketika pria yang tertidur itu terbangun, ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat pun lepas landas.
Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan pesawat.
Kenapa dia bisa ketinggalan pesawat?
Namun Allah memiliki ketetapan yaitu di tengah perjalanan ternyata pesawat tersebut mengalami kecelakaan.
Subhanallah..
Laki laki tersebut ternyata yang selamat.
Awalnya dia sedih dan tidak suka karena ketinggalan pesawat. Namun ternyata hal itu baik baginya.
Oleh karena itu Jika engkau telah mencurahkan seluruh usaha dan engkau meminta pertolongan pada Allah, namun hasil yang dicapai tidak seperti yang engkau inginkan, janganlah engkau merasa sedih hati. Janganlah engkau mengatakan,
“Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti akan …...”.
Jika engkau mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu setan.
Engkau pun akan merasa was was, gelisah, sedih, dan tidak bahagia.
Yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan semua urusanmu pada Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, katakanlah :
Jika engkau mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu setan.
Engkau pun akan merasa was was, gelisah, sedih, dan tidak bahagia.
Yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan semua urusanmu pada Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, katakanlah :
“Apa yang Allah kehendaki, pasti terlaksana”.
"Apapun yang terjadi, itulah yang terbaik bagi diriku".
Sumber :
Syaik Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul Mufid
(2/220-221), dan Syaik 'Abdurrahman bin Nashir As Sa'di dalam Bahjatul
Qulub (hal. 28)
Wallahu a'lam..
No comments :
Post a Comment