Ilmu adalah Pengetahuan tetapi Pengetahuan belum tentu menjadi ilmu

Sunday 28 July 2019

CONTOH TUGAS TENTANG KELOMPOK MASYARAKAT MARITIM SUKU BUTON

No comments


Hello sobat.. 

Kali ini Nislof Blog berbagi lagi Tugas Kuliah dari Mahasiswi UNHAS, Tugas ini sengaja di kirim ke email : annisawally8@gmail.com untuk dijadikan contoh bagi sobat yang membutuhkan referensi atau sebagainya..

Semoga contoh  tugas kali ini bisa bermanfaat bagi sobat yah..   


KELOMPOK MASYARAKAT MARITIM
SUKU BUTON

Suku Buton adalah suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Suku Buton juga dapat di temui dengan Jumlah yang Signifikan di Luar Sulawesi Tenggara Seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Maluku, dan Papua.Nama Buton sebagai salah satu pusat budaya maritim tidak merujuk terhadap suatu suku tertentu seperti Bajo, Mandar, Bugis, dan Makassar. Buton pasa zaman dahulu merupakan suatu wilayah kesulanan yang bernama Wolio (Zuhdi dkk, 2009).

Seperti suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.

Secara umum, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah-daerah itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, Kabupaten Buton, Kabupaten Buton Selatan, Kabupaten Buton Tengah, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Muna Barat.

Selain merupakan masyarakat pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.

1. SEJARAH KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON

Jika melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu Sipanjonga, Simalui, Sijawangkati dan Siuamanajo. Dan dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton dapat diperkirakan berkisar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Perkiraan tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.

Setelah kekuasaan Sriwijaya runtuh Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, Ia mengambil kesempatan untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan Untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton.

Tibanya Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.Kelompok pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). Pada waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan bendera kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda kebesarannya. Bendera Sipanjonga inilah yang menjadi bendera kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.

Di kemudian tempat di mana pengibaran bendera tersebut dikenal dengan nama “sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari.Kemudian maka keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.Di tempat pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa.

Oleh karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.

Untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim.Karena di tempat yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.

Kesultanan Wolio berdiri pada abad ke 14 dan berakhir pada tahun 1960. Wilayah kekuasaan ini dahulu kala mencakup Pulau Kabaena, Pulau Muna, Pulau Tiworo, Pulau Buton, dan Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Wilayah tersebut saat ini secara administrative merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Tenggara.

Wilayah Kesultanan Buton merupakan kepulauan dimana wilayah lautnya lebih luas daripada daratan. Interpretasi Peta Geologi Lembar Buton menunjukkan bahwa litologi. Wilayah ini tersusun oleh material endapan laut yang mengalami pengangkatan membentuk pulau, seperti sedimen pasir, lanau, lempung dan endapan koral yang membentuk batugamping. Luasan batugamping lebih mendominasi di kepulauan ini. Hal tersebut mengakibatkan tanah yang ada cenderung tidak cocok sebagai area pertanian. Kombinasi antara lautan yang membentang luas dan tanah yang tidak subur mendorong masyarakat Buton berorientasi maritim (Zuhdi dkk, 2009).

2. SISTEM BUDAYA KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON

a. Sistem Pengetahuan

Sejak dulu, orang Buton sangat mementingkan pendidikan. Pendidikan yang baik terhadap anak laki-laki dan perempuan membuat mereka memiliki kesusasteraan yang maju. Tidak ketinggalan pula dalam hal mempelajari bahasa asing. Karena itu, saat ini mulai terlihat hasil-hasil kemajuan di bidang sosial. Dalam pengetahuan maritim, orang-orang suku Buton menanamkan nilai-nilai dan tradisi yang dapat kita kenal dengan nilai Sabangka Asarope. Yaitu Pengenalan terhadap ruang kultural menjadi prestise sosial bagi orang Buton dalam berlayar. Sekali menancapkan layar untuk satu tujuan berlayar (Asarope), maka mereka pantang kembali ke kampung, sebelum membawa hasil dan berhasil dalam pelayaran itu. Semangat hidup di laut dengan Sabagka Asarope menjadi salah satu nilai yang harus dipegang oleh para pelayar-pedagang Buton.

Bagi orang Buton, perahu (Bangka/wangka) memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupannya. Bahkan, karena pentingnya, istilah perahu pun digunakan sebagai sapaan pada kehidupan di darat, untuk menyebut kawan/teman/sahabat, yakni sabangka.Kesatuan kata dan langkah dalam usaha pelayaran dan perdagangan maritim merupakan unsur utama penguat tradisi maritim. Dengan semangat selalu bersama atau satunya kata dan perbuatan, segala tantangan kehidupan di laut, baik yang bersumber dari ruang samudra maupun dari manusia, dapat dihadapi. Itulah sebabnya, ketika perahu telah dilayarkan dan meninggalkan pantai, pantang bagi pelayar Buton untuk mengubah haluan, apalagi kembali lagi ke pantai. Semangat yang dimaksud adalah asarope, diambil dari kata “rope” yakni bagian depan atau haluan perahu, diawali dengan kata “asa” yang bermakna satu atau sama.Semangat hidup tersebut, disebut Sabangka-Asarope. Nilai budaya inilah yang menjadi penopang utama kelangsungan tradisi maritim orang Buton dari waktu ke waktu dan dari satu tempat (ruang) ke tempat lain.

b. Bahasa

Masyarakat Buton memiliki variasi bahasa yang begitu beragam. Hingga sekarang dapat ditemui lebih dari tiga puluhan bahasa dengan berbagai macam dialek. Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Buton.Dalam perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Arab seiring masuknya Ajaran Islam di Kerajaan Buton pada abad ke-15 M, banyaknya penggunaan bahasa Arab pada kosakata bahasa Buton menunjukkan tingginya pengaruh Islam dalam Kesultanan Buton. Disamping itu bahasa Buton juga menyerap unsur-unsur bahasa melayu.

c. Sistem Kemasyarakatan atau Organisasi Sosial

Untuk pengklasifikasian masyarakat khusus pesisir tidak ada istilah-istilah yang digunakan sebagai tanda bahwa orang itu pelaut yang kedudukannya tinggi ataupun rendah. Namun, dalam sistem Kerajaan Buton diterapkan pula sistem kasta yang hanya diterapkan pada sistem pemerintahan dan ritual keagamaan saja. Berikut sistem kasta dalam kerajaan Buton:
  • Kaomu atau Kaumu (kaum ningrat/bangsawan) keturunan dari raja Wa Kakaa. Raja/Sultan dipilih dari golongan ini.
  • Walaka, (elit penguasa) yaitu keturunan menurut garis bapak dari Founding Fathers Kerajaan  buton (mia patamiana). Mereka memegang jabatan penting di Kerajaan seperti mentri dan juga dewan. Mereka pula yang menunjuk siapa yang akan menjadi Raja/Sultan berikutnya.
  • Papara atau disebut masyarakat biasa yang tinggal di wilayah kadie (desa) dan masih merdeka. Mereka dapat dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tertentu di wilayah kadie, tetapi sama sekali tidak mempunyai jalan kepada kekuasaan di pusat.
  • Babatua (budak), orang yang hidupnya bergantung terhadap orang lain/memiliki utang. meraka dapat diperjualbelikan atau dijadikan hadiah
  • Analalaki dan Limbo. Mereka adalah golongan kaomu dan walaka yang diturunkan darajatnya kerana melakukan kesalahan sosial dan berlaku tidak pantas sesuai dengan status sosialnya.
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Perahu lambo merupakan hasil karya asli masyarakat Buton (Zuhdi dkk, 2009). Meskipun demikian, pembuatan lambo tetap menyerap pengetahuan dari barat. Perahu ini memiliki keunikan berupa penggunaan layar nade yang merupakan produk barat. Perahu Lambo mampu mengangkut barang hingga 300 ton. Lambo juga digadang-gadang menjadi pesaing Perahu Pinisi yang banyak digunakan oleh suku Bugis untuk berdagang.

e. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Perairan di pulau Buton dan Muna kaya akan ikan tuna dan ikan ekor kuning. Maka dari itu sebagian besar masyarakat suku Buton hidup pada bidang perairan menjadi pelaut dan nelayan. Tetapi sejak kesempatan untuk memperoleh penghasilan yang cukup di daerah terasa sulit, banyak dari mereka yang kemudian pergi meninggalkan mata pencaharian di sektor perairan. Dan kekinian kegiatan pertanian menjadi kegiatan utama perekonomian. Mereka menanam padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang dan lain-lain termasuk beberapa jenis sayuran.

f. Sistem Religi dan Kepercayaan

Sebelum masuknya pengaruh Hindu ke Buton oleh bangsa Majapahit pada abad ke-13 dan Islam yang dibawah pada abad 15, masyarakat Buton mengenal dan memiliki kepercayaan yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya agama Hindu-Islam mendorong masyarakat Buton mulai menganut agama Hindu-Islam walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Misalnya masyarakat nelayan Wakatobi khusunya Tomia mengenal adanya Dewa laut Wa Ode Maryam yang dipercaya dapat menjaga mereka dalam mengarungi lautan Banda yang terkenal ganas. Disamping itu masyarakat Buton juga mengenal Dewa yang melindungi keberadaan Hutan yang dikenal dengan nama Wa Kinam**** (tidak boleh disebut namanya/hanya diucapkan dengan cara berbisik)

Masuknya Islam di Buton pada abad ke-15, yang di bawah oleh Ulama dari Patani juga telah meletakkan dasar-dasar Ilmu Fikih kepada Kesultanan dan masyarakat Buton. Ilmu Fikih merupakan ilmu Islam yang mempelajari hukum dan peraturan yang mengatur hak dan kewajiban umat terhadap Allah dan sesama manusia sehingga masyarakat Buton dapat hidup sesuai dengan kaidah Islam. Dan Pada Abad ke-16 M, lahir dasar-dasar Ilmu Qalam dan Tasawuf di Buton, yang dibawah oleh Sufi yang berasal dari Aceh.

g. Kesenian

Orang Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.Mata uang kesultanan Kampua Buton tersebut uniknya berbahan kain tenun dan merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat, mata uang ini pertama kali diperkenalkan oleh Bulawambona, yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua, yang memerintah sekitar abad XIV.

3.  KEARIFAN LOKAL DALAM KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON

Sebagai kebiasaan dan kesadaran kolektif, masyarakat Suku Buton memilik tradisi yang bisa memperlancar pertumbuhan pribadi masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan keberadaan tradisi sebagai wadah penyimpanan norma sosial kemasyarakatan.

Sejumlah kearifan tradisi dari tradisi yang ada dalam masyarakat Buton adalah kangkilo. Merupakan modal sosial budaya masyarakat Buton untuk mewujudkan keselarasan dan keharmonisan hidup. Kearifan tradisi yang meliputi kesucian ritual dan kesucian rasa dan akhlak bila diketahui dan dipahami maknanya dengan baik akan membentuk karakter prilaku, tutur kata dan sikap positif masyarakat Buton sesuai dengan nilai etika dan moral yang dianjurkan dalam tradisi itu.

Selain itu juga terdapat ritual-ritual dan pesta Adat yang dilakukan masyarakat Buton hingga sekarang yang dikabarkan mengandung unsur Sinkritisme. 

Berikut ritual-ritual dan pesta adat tersebut:
  • Tuturiangana  Andaala yaitu Ritual kesyukuran masyarakat Buton yang berada di Pulau Makassar (liwuto) kepada Allah SWT,  atas keluasan rejeki yang terhampar luas disektor kelautan.
  • Kabuenga merupakan tradisi mencari pasangan hidup khas Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara. Tradisi ini bermula ketika kaum para pemuda maupun gadis setempat jarang mempunyai kesempatan bertemu.Dahulu para pemuda sering berlayar untuk merantau atau lebih banyak di laut sehingga sulit bertemu dengan para gadis. Karena itulah, para lelaki dan perempuan lajang kemudian dipertemukan dalam Tradisi Kabuenga.
  • Mataa yaitu ritual adat yang digelar masyarakat Buton etnik cia-cia di desa.
  • Laporo yang merupakan wujud rasa syukur kepada Allah SWT atas hasil panen yang diperoleh.
  • Pekande-kandea yaitu pesta syukuran masyarakat Buton kepada Allah SWT atas limpahan anugrah yang diberikan.
  • Goraana Oputa/Maludju Wolio yaitu ritual masyarakat Buton dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan tiap tengah malam tanggal 12 Rabiul awal
  • Qunua, yaitu ritual keagamaan yang dilakukan masyarakat Buton pada 16 malam bulan Ramadhan.
  • Karia yaitu pesta adat masyarakat Buton yang berada di Kaledupa untuk menyambut anak-anak yang sedang beranjak dewasa. Pesta Rakyat ini diiringi dengan tarian-tarian yang dilakukan oleh pemangku adat, bersama orang tua kemudian memanjatkan doa bersama anak-anak mereka yang bertujuan untuk membekali anak-anak mereka dengan nilai-nilai moral dan spiritual.
  • Posuo (pingit) yaitu pesta adat masyarakat Buton yang ditujukan pada kaum wanita yang memasuki usia remaja sekaligus menyiapkan diri untuk berumah tangga.
  • Haroa, Sambura’e, dll.

4. PERMASALAHAN SOSIAL EKONOMI YANG ADA DALAM KELOMPOK MASYARAKAT SUKU BUTON

Dulu

Orang Buton yang mencakup seluruh wilayah kekuasaan Kesultanan Wolio adalah salah satu pengelana laut yang termasyur seperti yang telah dijelaskan diatas. Faktor pendorong yang sering digunakan untuk menjelasakan hal tersebut adalah tanah yang kurang subur dan posisi geografis yang berada di jalur pelayaran antara Indonesia Timur dan Barat (Zuhdi dkk, 2009). Indonesia Timur memiliki Maluku dan Papua yang menghasilkan hasil bumi berupa rempah-rampah dan kopra, sedangkan Indonesia Barat memiliki Jawa sebagai penghasil alat-alat dan kebutuhan rumah tangga. Pelaut Buton khususnya Tukang Besi berfungsi sebagai penghubung kedua daerah ini (Hadara, 2006). Oleh karena itu, orang Buton banyak tersebar dari Barat  hingga Timur Indonesia.

Letak Buton yang secara geografis strategis, ternyata juga menimbulkan permasalahan. Kepulauaan Buton seringkali menjadi sasaran bajak laut (Wafren, 2002). Perampok ini berasal dari Tobelo dan kawasan Laut Sulu. Ancaman terhadap ketentraman masyarakat Buton ternyata tidak hanya berasal dari bajak laut. Letak goegrafis wilayah ini juga mengakibatkan Buton berada diantara pengaruh politik Kerajaan Gowa dan Ternate (Zuhdi dkk, 2009). 

Dua permasalahan tersebut tentunya menjadikan penduduk Kepulauan Buton tidak aman, sehingga mereka banyak yang bermigrasi.Migrasi yang dilakukan orang Buton memiliki pola yang dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan (Zuhdi, 2010). Pola Ternate cenderung menjadikan orang Buton menempati kedudukan tinggi. Hal ini dikarenakan telah adanya hubungan erat antarkesultanan. Hubugan ini melibatkan masyarakat di Kulisusu Buton Utara yang mempunyai keahlian tertentu, sehingga dapat tinggal di lingkungan Keraton Ternate. Pola Ambon menempatkan mereka pada strata rendah. Orang Buton pada pola migrasi Ambon didominasi oleh masyarkaat Kepulauan Wakatobi. Orang Wakatobi yang bermigrasi ini awalnya membuka wilayah baru di Teluk Ambon dengan nama Kampuung Tomea Pekerjaan mereka didominasi oleh tukang becak, penjualtoko kelontong, dan hasil bumi berskala kecil. 

 Saat Ini
 
Masalah sosial ekonomi yang dihadapi masyarakat Buton saat ini dapat kita ketahui dari curhatan atau informasi para nelayan. Dalam Festival yang baru-baru ini diadakan,dihadiri oleh 20.000 nelayan dan 30.000 masyarakat pesisir pantai di Buton, Sulawesi Tenggara, Senin, 4 Maret 2019. Juga wakil pemerintah yang diwakili Kepala Staf Kepresidenan Jenderal TNI (Purn.) Dr Moeldoko. 

Di hadapan Moeldoko, para nelayan menyampaikan aspirasi berbagai permasalahan yang dihadapi. Ketua nelayan tradisonal Kabupaten Buton, La Jannah Ali mengungkapkan masalah yang dihadapai nelayan di Buton seperti keberadaan kapal-kapal besar yang memasuki wilayah tangkap mereka. 

Mereka sudah bersurat ke Kementerian Kelautandan Perikanan (KKP) agar menindak kapal besar yang memasuki wilayah tangkapan nelayan tradisonal. Kemudian penempatan rumpon (alat bantu pengumpulikan yang menggunakan berbagai bentuk dan jenis pengikat/atraktor dari benda padat) yang tidak sesuai dengan jarak seharusnya.

Oleh sebab itu, demi keberlangsungan aktivitas, nelayan tradisional Buton sangat berharap KSP dapat mendorong penyelesaian persoalan ini. Bahkan, para nelayan berharapaduan ini disampaikan juga kepada Presiden Joko Widodo agar penyelesainnya semakin dipercepat. Namun, hingga saat ini belum ada respons dari kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti tersebut.

DAFTAR PUSTAKA :

Nurkholis Afid.07 April 2018. Dalam Jurnal : “Menengal Pusat Kebudayaan Maritim”.
JanuariusKuwado, Fabian. 5 Maret 2019. Dalam berita nasional Kompas.com. 
https://nasional.kompas.com/read/2019/03/05/09553201/kepada-moeldoko-nelayan-buton-mengeluh-wilayah-tangkapannya-diserobot-kapal .

Pusat Web Informasi : Kantor StafPresiden. 04 Maret2019,http://ksp.go.id/curhat-nelayan-tradisional-buton-ke-moeldoko-wilayah-tangkap-diserobot-kapal-besar/index.html

Pusat Web Informasi : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, https://belajar.kemdikbud.go.id/PetaBudaya/Repositorys/SabangkaAsarope/ .

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Buton diakses tanggal 11 Mei 2019.

http://dunia-kesenian.blogspot.com/2015/05/sejarah-dan-kebudayaan-suku-buton.html?m=1 diakses tanggal 11 Mei 2019.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabuengadiakses tanggal 11 Mei 2019.

Sumber gambar : pixabay


Wallahu a'lam..

No comments :

Post a Comment