Materi Kelompok 6
2.1 Kebudayaan Bacson-Hoabinh
Kebudayaan Bacson-Hoabinh diperkirakan berasal dari tahun 10.000 SM-4000 SM, kira-kira tahun 7000 SM. Kebudayaan ini berlangsung pada kala Holosen yang berpusat di lembah sungai Mekong. Dinamakan Bacson Hoabin karena tempat penemuan kebudayaan ini berada di pegunungan di daerah Hoabin Tonkin Indocina. Kebudayaan Bacson Hoabin masuk melalui Thailand Melayu lalu menyebar ke Nusantara. Penyebaran kebudayaan Bacson-Hoabinh bersamaan dengan perpindahan ras Papua Melanesoid ke Indonesia melalui jalan barat dan jalan timur (utara). Mereka datang di Nusantara dengan perahu bercadik dan tinggal di pantai timur Sumatra dan Jawa, namun mereka terdesak oleh ras Melayu yang datang kemudian. Akhirnya, mereka menyingkir ke wilayah Indonesia Timur dan dikenal sebagai ras Papua yang pada masa itu sedang berlangsung budaya Mesolitikum sehingga pendukung budaya Mesolitikum adalah Papua Melanesoid. Ras Papua Melanesoid sampai di Nusantara pada zaman Holosen. Saat itu keadaan bumi kita sudah layak dihuni sehingga menjadi tempat yang nyaman bagi kehidupan manusia. Ras Papua Melanesoid hidup masih setengah menetap, berburu, dan bercocok tanam sederhana, sudah mengenal kesenian, seperti lukisan mirip babi hutan yang ditemukan di Gua Leang-Leang (Sulawesi).
Lukisan tersebut memuat gambar binatang dan cap telapak tangan. Ras Papua ini hidup dan tinggal di gua-gua di sebut abris sous roche dan yang meninggalkan bukit-bukit kerang atau sampah dapur disebut kjokkenmoddinger. Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah. Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang mencapai ketinggian 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger ditemukan di sepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada zaman ini sudah menetap. Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan dari cuaca dan binatang buas. Abris Sous Roche di temukan di bayak tempat yaitu di goa Lawa dekat Sampung Ponorogo Jawa Timur, goa di Besuki dan Bojonegoro, di goa Leang Patae daerah Lomoncong (Sulawesi selatan), serta di daerah Timor dan Rote.
Pengaruh utama budaya Hoabihn terhadap perkembangan budaya masyarakat awal kepulauan Indonesia adalah berkaitan dengan tradisi pembuatan alat terbuat dari batu. Beberapa ciri pokok budaya Bacson-Hoabinh ini antara lain: Pembuatan alat kelengkapan hidup manusia yang terbuat dari batu. Batu yang dipakai untuk alat umumnya berasal dari batu kerakal sungai. Alat batu ini telah dikerjakan dengan teknik penyerpihan menyeluruh pada satu atau dua sisi batu. Hasil penyerpihan menunjukkan adanya keragaman bentuk. Ada yang berbentuk lonjong, segi empat, segi tiga dan beberapa diantaranya ada yang berbentuk berpinggang. Pengaruh budaya Hoabihn di Kepulauan Indonesia sebagian besar terdapat di daerah Sumatra. Hal ini lebih dikarenakan letaknya yang lebih dekat dengan tempat asal budaya ini. Situs-situs Hoabihn di Sumatra secara khusus banyak ditemukan di daerah pedalaman pantai Timur Laut Sumatra, tepatnya sekitar 130 km antara Lhokseumawe dan Medan. Sebagian besar alat batu yang ditemukan adalah alat batu kerakal yang diserpih pada satu sisi dengan bentuk lonjong atau bulat telur. Dibandingkan dengan budaya Hoabihn yang sesungguhnya, pembuatan alat batu yang ditemukan di Sumatra ini dibuat dengan teknologi lebih sederhana. Ditinjau dari segi perekonomiannya, pendukung budaya Hoabihn lebih menekankan pada aktivitas perburuan dan mengumpulkan makanan di daerah sekitar pantai.
2.2 Hasil-hasil Kebudayaan Bacson-Hoabinh di Indonesia
a. Kapak Genggam
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera. Tahun 1925, Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya menemukan kapak genggam. Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang tersebut dinamakan dengan pebble/kapak genggam Sumatra (Sumatralith) sesuai dengan lokasi penemuannya yaitu dipulau Sumatra. Bahan-bahan untuk membuat kapak tersebut berasal batu kali yang dipecah-pecah.
b. Kapak Dari Tulang dan Tanduk
Di sekitar daerah Nganding dan Sidorejo dekat Ngawi, Madiun (Jawa Timur) ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi darialat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkapikan.
c. Flakes
Flakes berupa alat alat kecil terbuat dari batu yang disebut dengan flakes atau alat serpih. Flakes selain terbuat dari batu biasa juga ada yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon. Flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Jadi fungsinya seperti pisau pada masa sekarang. Selain ditemukan di Sangiran flakes ditemukan di daerah-daerah lain seperti Pacitan, Gombong, Parigi, Jampang Kulon, Ngandong (Jawa), Lahat (Sumatera), Batturing (Sumbawa), Cabbenge (Sulawesi),Wangka, Soa, Mangeruda (Flores).
d. Kjokkenmoddinger
Kjokkenmoddinger adalah bukit-bukit sampah kerang yang berdiameter sampai 100 meter dengan kedalaman 10 meter. Peninggalan ini ditemukan di Sumatra. Lapisan kerang tersebut diselang-selingi dengan tanah dan abu. Tempat penemuan bukit kerang ini pada daerah dengan ketinggian yang hampir sama dengan permukaan air laut sekarang dan pada kala Holosen daerah tersebut merupakan garis pantai. Namun, ada beberapa tempat penemuan yang pada saat sekarang telah berada di bawah permukaan laut. Tetapi, kebanyakan tempat-tempat penemuan alat-alat dari batu di sepanjang pantai telah terkubur di bawah endapan tanah, sebagai akibat terjadinya proses pengendapan yang berlangsung selama beberapa millennium yang baru. Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat. Sedangkan kebudayaan yang terdiri dari flakes masuk ke Indonesia melalui jalur timur.
3.1 Kebudayaan Dongson
Dongson adalah nama daerah di Tonkin, merupakan tempat penyelidikan yang pertama. Daerah ini merupakan pusat kebudayaan perunggu di Asia Tenggara. Diperkirakan kebudayaan ini berlangsung pada tahun 1500 SM-500 SM. Bertempat di kawasan Sungai Ma, Vietnam. Kebudayaan Dongson ini berawal dari evolusi kebudayaan Austronesia. Asal usulnya sendiri telah dicar adalah bangsa Yue-tche yang merupakan orang-orang barbar yang muncul di barat daya China sekitar abad ke-8 SM. Kebudayaan Dongson secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bangsa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam, yang berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 Sebelum Masehi. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dongson di Tanh hoa. Pengaruh China yang berkembang pesat juga ikut memengaruhi Kebudayaan Dongson terlebih lebih adanya ekspansi penjajahan China yang mulai turun ke perbatasan-perbatasan Tonkin. Hal ini dilihat dari motif-motif hiasan Dongson memberikan model benda-benda perunggu China pada masa kerajaan-kerajaan Pendekar.
Itulah sumber utama seni Dongson yang berkembang sampai penjajahan Dinasti Han yang merebut Tonkin pada tahun 111 SM. Kebudayaan Dongson mulai berkembang di Indochina pada masa peralihan dari periode Mesolitik dan Neolitik yang kemudian periode Megalitik. Pengaruh kebudayaan Dongson ini juga berkembang menuju Indonesia yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan Perunggu sekitar 1000 SM sampai 1 SM. Pada tahun 1920 ditemukan alat-alat perunggu diperkirakan berkaitan dengan kebudayaan Yunan, sebelah barat daya Cina, dan berbagai tempat di Indonesia. Meskipun benda-benda perunggu telah ada sebelum tahun 500 SM terdiri atas kapak corong (corong merupakan pangkal yang berongga untuk memasukkan tangkai atau pegangannya) dan ujung tombak, sabit bercorong, ujung tombok bertangkai, mata panah, dan benda-benda kecil lainnya. Bagi Indonesia penemuan benda kebudayaan Dong Son sangat penting. Hal ini dikarenakan benda-benda logam yang ditemukan di wilayah Indonesia pada umumnya bercorak Dong Son, bukan mendapat pengaruh budaya logam dari Cina maupun India. Hal ini terlihat dari kesamaan corak hiasan dari bahan-bahan yang digunkan.
Benda-benda arkeologi dari Dongson sangat beraneka ragam, karena mendapat berbagai macam pengaruh dan aliran. Hal tersebut nampak dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun peralatan bersifat ritual yang sangat rumit sekali. Contoh: Nekara Tipe Heger I memiliki kesamaan dengan nekara yang paling bagus dan tua di Vietnam, dimana nekara ini memiliki lajur hiasan yang disusun mendatar bergambar manusia, hewan dan pola geometris. Tidak kurang dari 56 nekara yang berhasil ditemukan di beberapa wilayah Indonesia dan terbanyak nekara ditemukan di Sumatera, Jawa, Maluku Selatan. Nekara yang penting ditemukan di wilayah Indonesia dari pulau Sangeang dekat Sumbawa yang berisi hiasan gambar orang yang menyerupai pakaian dinasti Han. Hiasan seperti itu diperkirakan belum dikenal oleh penduduk pulau tempat nekara tersebut ditemukan. Heine Goldem meneliti nekara yang ditemukan dan menyatakan bahwa nekara yang ditemukan di daerah Sangeang diperkirakan diceak di daerah funan yang telah terpengaruh oleh budaya india pada 250 SM. Pengamatan menarik dari Berner Kempres menunjukkan bahwa semua nekara yang ditemukan di Bali memliki 4 patung katak pada bagian pukulnya.
Simbol kegiatan pertanian pada masa itu yakni matahari dan katak (simbol air). Dengan mengandalkan pengaruh ghaibnya, nekara ini ditabuh untuk menimbulkan bunyi petir yang berkaitan dengan datangnya hujan. Pada nekara-nekara yang seringkali disimpan di dalam makam terlihat motif perahu yang dipenuhi orang yang berpakaian dan bertutup kepala dari bulu burung. Hal tersebut boleh jadi menggambarkan arwah orang yang sudah mati yang berlayar menuju surga yang terletak di suatu tempat di kaki langit sebelah timur lautan luas. Pada masyarakat lampau, jiwa sering disamakan dengan burung dan mungkin sejak periode itu hingga sekarang masih dilakukan kaum syaman yang pada masa kebudayaan Dongson merupakan pendeta-pendeta menyamar seperti burung agar dapat terbang ke kerajaan orang-orang mati untuk mendapatkan pengetahuan mengenai masa depan. Sehingga bisa disimpulkan bahwa pada nekara tesebut digambarkan kehidupan orang-orang Dongson mulai perburuan, pertanian hingga kematian. Selain itu pola-pola hiasan nekara tersebut tidak begitu terpadu antara gambar satu dengan yang lainnya.
Dari penemuan benda budaya Dong Son diketahui cara pembuatannya dengan menggunakn teknik cetak lilin. Masa ini telah terjadi tukar menukar dan perdagangan antar masyarakat dengan alat-alat gerabah dari perunggu sebagai komoditi barter. Selain itu, sebagai objek dari simbol kemewahan dan alat-alat sakti yang dapat mendatangkan kekuatan gaib. Kebudayaan Dongson sampai ke Indonesia melalui jalur Barat yaitu Semenanjung Malaya oleh bangsa Austronesia.
Pendapat tentang kebudayaan Dongson, sampai kepulauan Indonesia terbagi dalam 2 tahap:
a. Zaman Neolithikum, berlangsung kurang lebih sejak 2000 SM, merupakan zaman batu tulis, zaman kebudayaan kapak persegi
b. Zaman Perunggu, kurang lebih sejak 500 SM, merupakan kebudayaan kapak sepatu, nekara, dan candrasa.
Penyebaran kebudayaan Dongson tersebut menyebabkan terbaginya kebudayaan di Indonesia menjadi 2, yaitu:
• a. Kebudayaan Melayu Tua (Proto Melayu) di Masyarakat Dayak Pedalaman
• b. Kebudayaan Melayu Muda (Deutero Melayu) di masyarakat Bali Aga dan Lombok
3.2 Peninggalan Kebudayaan Dongson
a. Nekara Perunggu
Nekara adalah benda yang terbuat dari perunggu berbentuk seperti dandang yang terlungkup atau semacam kerumbung yang berpinggang pada bagian tengah nya dan bagian atasnya tertutup. Di bagian dinding nekar terdapat berrbagai hiasan, seperti garis-garis lurusa dan bengkok, pilin-pilin, bintang, rumah, perahu, dan pemandangan-pemandangan seperti lukisan orang berburu dan orang-orang yang sedang melakukan upacara tari. Nekara perunggu banyak di temukan di Bali, Pulau Sengean dekat Sumba, Pulau Selayar, Sumatra, Roti, Leti, Alor (Nusa Tebggara Timur), dan Kepulauan Kei. Bentuk nekara di Indonesia Timur umumnya lebih besar di bandingkan nekara yang di temukan di Indonesia Barat, seperti Jawa dan Sumatra. Orang Alor menyebut jenis nekara yang lebih kecil ukuran nya dengan nama Moko. Menurut penelitian nekara hanya digunakan pada saat upacara-upacara ritual.
b. Bejana Perunggu
Bejana perunggu berbentuk seperti periuk tetapi Langsing dan Gepeng. Bejana di temukan di Kerinci (Sumatra Barat) dan Madura. Keduanya memiliki hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah berupa gambar-gambar geometri dan pilin-pilin mirip huruf “j”. Bejana yang di temukan di madura terdapat pula gambar merak dan rusa dalam Kotak Segi Tiga. Tidak diketahui secara pasti fungsi benda ini.
c. Arca Perunggu
Bentuk arca (patung) beraneka ragam, seperti menggambarkan orang sedang menari, naik kuda, dan memegang busur panah. Daerah-daerah tempat penemuan arca seperti di daerah Bangkina (Riau), Lumajang, Bogor dan Palembang.
d. Kapak Corong
Kapak sepatu atau kapak corong adalah kapak yang terbuat dari perunggu yang bagian atas nya berbentuk corong. Kapak corong di sebut juga kapak sepatu karena bagian bentuk corong nya dipakai untuk tempat tangkai kayu yang bentuknya menyiku seperti bentuk kaki. Kapak corong banyak ditemukan di Sumatra Selatan, Jawa, Bali, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Pulau Selayar, dan Daerah sekitar Danau Sentani, Papua. Jenis kapak corong bermacam-macam. Ada yang kecil dan bersahaja, ada yang besar dan memakai hiasan, ada yang pendek lebar, ada yang bulat, dan ada yang panjang suatu sisinya. Kapak corong yang panjang suatu sisinya di sebut candras. Tidak semua kapak tersebut di gunakan sebagai perkakas, tetapi ada juga yang di gunakan sebagai tanda kebesaran dan alat upacara.
e. Perhiasan Perunggu
Perhiasan perunggu, antara lain berbentuk gelang, kalung, anting-anting, dan cincin. Pada umumnya , barang-barang perhiasan tersebut tidak diberi hiasan ukiran. Peninggalan ini banyak di temukan, antara lain di Anyer (Banten),Plawangan dekat Rembang (Jawa Tengah) Gilimanuk (Bali),dan Malelo(Sumba).
4.1 Kebudayaan Sa Huynh
Kebudayaan Sa Huynh diperkirakan berlangsung tahun 600 SM-1 M.
Pada dasarnya merupakan kebudayaan yang mirip dengan Kebudayaan Dongson. Karena peralatan yang banyak dipakai dalam kebudayaan Sa Huynh adalah dari kebudayaan Dong Son. Budaya Sa Huynh ditemukan di kawasan pantai Vietnam Tengah ke Selatan sampai lembah sungai Mekong. Budaya Sa Huynh ada di Vietnam bagian Selatan didukung oleh suatu kelompok penduduk yang berbahasa Austronesia (Cham) yang diperkirakan berasal dari kepulauan Indonesia. Orang-orang Cham merupakan kelompok masyarakat yang menggunakan bahasa Austronesia dan mempunyai kedekatan kebangsaan dengan masyarakat yang tinggal di kepulauan Indonesia. Orang-orang Cham pernah mengembangkan peradaban yang dipengaruhi oleh budaya India Champa tetapi akhirnya dikalahkan oleh penduduk Vietnam sekarang yang hanya merupakan kelompok minoritas hingga sekarang. Kebudayaan Sa Huynh diketahui melalui penemuan kubur tempayan (jenazah dimasukkan ke dalam tempayan besar). Penguburan tersebut adalah adat kebiasan yang dibawa oleh orang-orang Cham ke kepulauan Indonesia sebab penguburan dengan cara ini bukan merupakan budaya Dong Son maupun budaya yang lain. Kebudayaan dalam bentuk tempayan kubur yang ditemukan di Sa Huynh memiliki persamaan dengan tempayan kubur yang ditemukan di Laut Sulawesi.
Kebudayaan Sa Huynh yang ditemukan meliputi berbagai alat yang bertangkai corong seperti sikap, tembilang, dan kapak. Namun ada pula yang tidak bercorong seperti sabit, pisau bertangkai, kumparan tenun, cincin, dan gelang berbentuk spiral. Teknologi pembutan peralatan besi yang diperkenalkan ke daerah Sa Huynh berasal dari daerah Cina. Benda perunggu yang ditemukan di daerah Sa Huynh berupa beberapa perhiasan, seperti gelang , lonceng, dan bejana-bejana kecil. Ditemukan pula manik-manik emas yang langka dan kawat perak serta manik-manik kaca dari batu agate bergaris dan berbagai manik-manik Carnelian (bundar, berbentuk cerutu). Ditemukan alat-alat dari perunggu seperti bejana kecil, selain itu terdapat gelang-gelang dan perhiasan-perhiasan. Benda-benda perunggu yang tersebar ke wilayah Indonesia melalui 2 jalur, yaitu:
a. Jalur darat : Muangthai dan Malaysia terus ke kepulauan Indonesia
b. Jalur laut : Menyeberang lautan dan terus tersebar di daerah kepulauan Indonesia
5.1 Kesimpulan :
Proses migrasi masyarakat kebudayaan Bacson Hoabinh dan Dongson berlangsung antara tahun 2000 SM sampai 300 SM. Proses migrasi ini mengakibatkan penyebaran berbagai jenis-jenis kebudayaan Megalithikum (batu besar), Mesolithikum ( batu madya), Neolithikum (batu halus), dan khususnya kebudayaan Perunggu. Proses migrasi dari berbagai jenis kebudayaan inilah yang menjadi awal perkembangan kebudayaan nusantara di fase-fase sejarah selanjutnya. Dalam proses migrasi ini, terdapat dua jalur penyebaran kebudayaan masyarakat Bacson Hoabinh dan Dongson ke kawasan nusantara. Pertama, jalur barat, yaitu jalur yang mempunyai ciri khas peninggalan kebudayaan kapak persegi. Kedua, jalur timur, yaitu jalur yang mempunyai cirri khas peninggalan kebudayaan kapak lonjong. Peninggalan sejarah zaman Perunggu yang berupa kapak-kapak lonjong ini terletak di Formosa (Filipina), Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Penyebaran budaya Bacson Hoabin dan Dongson ini membagi dua jenis kebudayaan Indonesia, yaitu kebudayaan Melayu Tua (Proto Melayu) yang terdapat di masyarakat Dayak pedalaman dan budaya Melayu Muda (Deutro Melayu) yang terdapat dalam masyarakat Bali dan Lombok. Kebudayaan Sa Huynh diperkirakan berlangsung tahun 600 SM-1 M.Pada dasarnya merupakan kebudayaan yang mirip dengan Kebudayaan Dongson. Karena peralatan yang banyak dipakai dalam kebudayaan Sa Huynh adalah dari kebudayaan Dong Son. Budaya Sa Huynh ditemukan di kawasan pantai Vietnam Tengah ke Selatan sampai lembah sungai Mekong. Budaya Sa Huynh ada di Vietnam bagian Selatan didukung oleh suatu kelompok penduduk yang berbahasa Austronesia (Cham) yang diperkirakan berasal dari kepulauan Indonesia.
Sumber : dari beberapa blog
Wallahu a'lam...
No comments :
Post a Comment