RANGKUMAN MATERI :
FILOSOFIS METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL MENURUT EMILE DURKHEIM
FILOSOFIS METODOLOGI PENELITIAN SOSIAL MENURUT EMILE DURKHEIM
Didalam buku Metode Penelitian Sosial yang ditulis oleh Bagong Suyanto dan Sutinah dijelaskan bahwa; Penelitian (research) sosial adalah kegiatan spionase untuk mencari, memata-matai, dan menemukan pengetahuan dari “lapangan” yang dapat dipertanggung jawabkan menurut kaidah-kaidah ilmiah tertentu. Pelacakan di dunia jurnalistik dapat dilakukan menurut metode tertentu agar gejala yang diteliti dan data yang diperoleh benar-benar cermat (accurate), berketerandalan (reliable), dan sahih (valid). Sedangkan metode – berasal dari bahasa Yunani, methodos – secara sederhana adalah suatu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. paradigma tetapi yang mendominasi ilmu pengetahuan adalah scientific paradigm (paradigma keilmuan, namun untuk memudahkan penulis menerjemahkannya secara harfiah sebagai paradigma ilmiah) dan naturalistic paradigm atau paradigma alamiah.
Penelitian
pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau
untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mnegejar kebenaran
dilakukan oleh para filsuf, peneliti, maupun oleh para praktisi melalui
model-model tertentu. Model tersebut biasanya dikenal dengan paradigma.
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur
(bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi
(perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Kuhn
(1962 dalam 'The Structure of Scientific Revolutions' mendefinisikan
'paradigma ilmiah' sebagai 'contoh yang diterima tentang praktek ilmiah
sebenarnya, contoh-contoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan
instrumentasi secara bersama-sama-yang menyediakan model yang darinya
muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. Penelitian yang
pelaksanaannya didasarkan pada paradigma bersama berkomitmen untuk
menggunakan aturan dan standar praktek ilmiah yang sama.
Ada
bermacam-macam Paradigma ilmiah bersumber dari pandangan positivisme sedangkan paradigma alamiah bersumber pada pandangan fenomenologis. Riwayat singkat kedua paradigma tersebut dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor (1975:2) dimana Positivisme berakar pada pandangan teoretisi August Comte dan Emile Durkheim pada abad ke-19 dan awal abad ke- 20. Para positivis mencari fakta dan penyebab fenomena sosial, dan kurang mempertimbangkan keadaan subjektif individu. Durkheim menyarankan kepada para ahli ilmu pengetahuan sosial untuk mempertimbangkan fakta sosial atau fenomena sosial sebagai sesuatu yang memberikan pengaruh dari luar atau yang memaksakan pengaruh tertentu terhadap perilaku manusia. Sebelum membahas lebih jauh terkait filosofis metodologi penelitian sosial yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu sosok Emile Durkheim tersebut.
A. Biografi Durkheim
Emile Durkheim lahir di Epinal, ibukota Vosges daerah bagian timur-Perancis pada tanggal 15 April 1858, tepatnya di daerah Alsace-Lorraine. Durkheim lahir dari keturunan Yahudi Perancis yang taat. Pada umur 13 tahun, Durkheim memeluk agama Yahudi tradisional, dan kemudian tertarik pada agama Katholik. Namun tidak berlangsung lama, Durkheim akhirnya malah tidak tertarik pada agama sama sekali dan menjadi seorang agnostis (orang yang menolak keberadaan Tuhan) dan sekuler. Dengan latar belakang agama yang dimilikinya, Durkheim tetap mencurahkan perhatiannya pada agama terutama dimensi sosialnya. Ini dapat ditelusuri dari karya-karya akademik yang dihasikannya. Sebelum pindah ke Paris, Durkheim telah menunjukkan kecerdasan intelektual yang tajam dan termasuk excellent di College d’Epinal, sehingga dengan mudah memperoleh gelar BA dalam bidang kesustraan (1874) dan sains (1875) (Jones, 1986:13).
Berkat kecerdasannya, Durkheim disebut a precocius student ; siswa yang mengajukan pertanyaan berbobot lebih, dan dianggap belum saatnya mempertanyakan pertanyaan yang diajukannya. Dia juga tampil luar biasa di Concour General. Durkheim meninggalkan Epinal menuju Paris untuk melajutkan pendidikan. Durkheim dinyatakan lulus tes dan menjadi mahasiswa di Ecole Normale Superieure (ENS) pada tahun 1879, setelah dua kali gagal sebelumnya (1877 dan 1878). Kelas yang dimasukinya adalah salah satu kelas terbaik di abad XIX dan banyak teman sekelasnyya yang menjadi tokoh terkemuka di pusaran Bergson (Jones, 1986:13). Di ENS Durkheim menemukan habitat akademik yang memungkinkan dan mengantarnya menjadi ilmuwan sosial legendaris yang mendapat penghargaan internasional dan reputasinya disejajarkan dengan Max Weber.
Durkheim bertemu dan akhirnya menjadi akrab dengan filosof Charles Renouvier dan Emile Boutoux dan juga sejarawan Numas-Denis Fustel de Coulanges. Pada saat yang bersamaan Durkheim membaca karya-karya Aguste Comte dan Herbert Spencer. Dengan membaca karya dua sosiolog terkemuka abad XIX ini menunjukkan ketertarikan Durkheim pada pendekatan saintific terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan pada awal karir akademiknya (lihat Nisbet, 1974:4-5).
Setelah menyelesaikan studinya di ENS, meskipun sakit antara tahun 1881-1882, Durkheim berhasil lulus dalam agregation (ujian yang dibutuhkan untuk bisa mengajar di sekolah pemerintah) dan akhirnya mendapat posisi sebagai tenaga pengajar di berbagai lycees yang semuanya berada dekat Paris (Jones, 1986:14). Selama mengajar di lycees, dari awal Durkheim telah menunjukkan kecerdasannya yang brillian dan dedikasinyya yang tinggi pada murid-murid yang diajarnya. Oleh karenanya, juga sejak awal, Durkheim sangat dihormati oleh murid-muridnya. Durkheim juga mempunyai sensitivitas, simpati dan kepedulian terhadap sesama manusia. Ini terdeteksi dari seringnya Durkheim memenuhi undangan murid-muridnya untuk mendiskusikan masalah filsafat (Nisbet, 1974:5-6).
Durkheim juga telah memutuskan bahwa yang menjadi topik disertasi doktornya adalah hubungan antara individualism dan socialism. Dari namanya yang berakhiran “isms” menunjukkan bahwa keduanya adalah kajian filsafat atau idiologi, sehingga Durkheim menganggap kajian ini relatif bukan social fact. Hingga tahun 1883, Durkheim telah mendefinisikan masalah tersebut sebagai salah satu hubungan antara individual dan society dan kemudian menjelma menjadi hubungan antara individual personality dan social solidarity. Pada tahun 1886, Durkheim tidak hanya menyimpulkan solusi atas masalah yang diformulasikannya sebagai wilayah the new science of sociology tetapi juga melakukan revisi dasar-dasar metodologi sosiologi Aguste Comte. Ketertarikan ini membuat Durkheim meninggalkan Perancis menuju Jerman tahun 1885-1886 (Jones, 1986:14). Di Jerman Durkheim belajar ilmu sosial dan hubungannya dengan etika di bawah bimbingan Wilhelm Wundt sebagai pembimbing utamanya (LaCapra 1985:33).
Artikel Durkheim tentang filsafat Jerman dan ilmu-ilmu sosial mendapat perhatian dua petinggi di Perancis, masing-masing Dekan Fakultas Sastra, Universitas Bordeaux, Alfred Espinas dan Direktur Pendidikan Tinggi Perancis, Louis Liard, pada tahun 1887. Durkheim diangkat sebagai tenaga pengajar di Bordeaux dan “Science Sociale” merupakan konsesensi yang diberikan kepada Durkheim. Dengan samaran ini [Science Sociale, Social Science] secara resmi sosiologi [sebagai disiplin ilmu] memasuki sistem perguruan tinggi Perancis (Jones, 1986:15). Selama di Bordeaux (1887-1902), Durkheim mempunyai tanggungjawab utama mengajarkan teori, sejarah, dan praktik pendidikan. Selain itu setiap Sabtu pagi Durkheim juga memberikan kuliah umum social science yang difokuskan pada spesialisasi kajian terhadap fenomena sosial tertentu (Jones, 1986:16). Tahun-tahun setelah memulai karirnya di Bordeaux Durkheim terus menulis karya ilmiah dan melakukan persiapan kuliah-kuliah populernya.
Pada tahun 1893, karya utama pertamanya "Division of Labor" dipublikasikan. Publikasinya ini memberi pengaruh yang substansial terhadap karir akademiknya (Nisbet, 1974:6-7). Dua tahun kemudian, "The Rules of Sociological Method" diterbitkan. Buku kecil ini-sebagian didasarkan pada artikel yang telah ditulis sebelumnya-mungkin memberi pengaruh lebih dari karya sebelumnya dan membuat Durkheim menjadi selebritis-akademik dalam lingkaran ilmuwan sosial Perancis (Nisbet, 1974:7). Kemudian pada tahun 1896 Durkheim menerima pengukuhannya sebagai guru besar penuh di Bordeaux (LaCapra, 1985:34).
Dua tahun kenudian, Durkheim mendirikan Jurnal L'Année Sociologique. Année merupakan jurnal ilmu sosial pertama di Perancis Jones, 1986:17, Nisbet, 1974:7, Gane, 1988:1). Selanjutnya, pada tahun 1897, buku selibritis keduanya "Suicide" diterbitkan. Karya Suicide-nya inilah hingga sekarang dianggap oleh para sosiolog sebagai karya satu-satunya yang paling sukses dalam melakukan fusi antara teori dan penelitian empirik (Nisbet, 1974:7). Sebelum kembali ke Paris, Durkheim diangkat menjadi guru besar Fakultas Sastra di Sorbonne. Durkheim tiba di Paris dengan popularitas dan reputasinya yang semakin berkibar dalam bidang sosiologi dan pendidikan. Selain itu, Jones (1986:20) juga menyebutkan bahwa dengan kekuatan intelektualnya, Durkheim terus melakukan pendekatan saintifik terhadap semua masalah."Science morality". Setelah Durkheim sukses dalam karir akademiknya, akhirnya tragedi datang menghantamnya. Putranya, Andre, a brilliant linguist, yang dikirim ke group Bulgaria pada akhir tahun 1915 dalam perang antara Jerman dan Belgia dikabarkan hilang pada bulan Januari dan bulan April 1916 dinyatakan meninggal. Ini adalah hantaman yang sangat berat bagi Durkheim dan menyebabkannya jatuh sakit, hingga tidak pernah sembuh secara penuh. Setelah istirahat beberapa bulan, Durkheim kembali menggarap La Morale untuk dipublikasikan. Namun pada tanggal 15 November 1917, Durkheim tidak mampu menggunakan ilmu sosiologinya untuk mempertahankan hidupnya; Durkheim-pun pergi untuk selamanya pada umur 59 tahun (Jones, 1974:23, Gane, 1988:1).
B. Apa itu Social Fact?
Sebelum menguraikan metode penelitian sosiologis Durkheim, istilah social fact sangat penting dipahami terlebih dahulu. Social facts dinyatakan Durkheim sebagai barang/sesuatu (thing) yang berbeda dengan ide. Thing menjadi objek penelitian dari semua ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Akan tetapi diperlukan penyusunan data riil di luar pemikiran manusia dalam memahaminya. Pernyataan dan usaha Durkheim ini mengandung pengertian bahwa social facts tidak dapat dipahami dengan menggunakan metode spekulatif yang bersifat introspektif, melainkan harus diteliti di dalam dunia nyata sebagaimana orang mencari barang/ sesuatu yang lainnya (Ritzer, 2003:14). Leming (1997) dalam menerjemahkan klaim Durkheim ini menyatakan bahwa social groups atau kolektivitas (khususnya nuclear family (keluarga inti)) tidak dapat direduksi dan dipandang sebagai suatu kumpulan individu. Fenomena sosial memiliki realitas mereka sendiri yang melebihi bagian-bagian penyusunnya. Oleh karena itu, penelitian sosiologis, dari sudut pandang ini, akan dilakukan dengan lebih memfokuskan diri pada fenomena-fenomena kelompok (mis. sistem keluarga, struktur keluarga, marriage dyads (perkawinan sebagai suatu ikatan suami-istri, bukan individu suami atau istri) daripada fenomena perilaku individu. Durkheim juga mengadvokasi penggunaan historical and comparative methods dalam studi-studi sosiologis.
C. Metode Penelitian Sosiologis Durkheim
Dalam konteks metode-praktis, Durkheim adalah orang yang dianggap paling berjasa dan pertama dalam mengubah konsep positive method dari Comte menjadi metode-praktis yang dapat digunakan dalam meneliti masalah-masalah sosial. Durkheim menggunakan dan mengaplikasikan konsep positive method dalam meneliti masalah bunuh diri di Eropa. Karya jemarinya, "The Rules of Sociological Method (1895)" dan "Suicide (1897)" adalah dua karya besar Durkheim yang dinilai oleh para ahli sesudahnya sebagai titik awal dan titik balik dalam sejarah penelitian sosial empirik. Metode-praktis tersebut terus mengalami evolusi-perkembangan hingga mencapai bentuknya seperti sekarang. Konsep Suicide merupakan refleksi usaha keras Durkheim melepaskan sosiologi dari pengaruh filsafat positif Comte dan Herbert Spencer. Suicide adalah publikasi Durkheim yang didasarkan atas hasil studi empiriknya terhadap gejala bunuh diri sebagai suatu fenomena sosial. Sementara karya "The Rules of Sociological Method" yang diterbitkannya memuat konsep-konsep dasar tentang metode yang dapat dipakai untuk melakukan studi empirik dalam bidang sosiologi. Dari studi empirik Suicide-nya, yang dituangkan dalam "The Rules of Sociological Method," sangat jelas terlihat prinsip utama yang dikembangkan Durkheim. Durkheim berpendapat bahwa perilaku manusia tidak dapat dipahami individu. Kita harus selalu mengevaluasi kekuatan-kekuatan sosial (social forces)-yang lebih dikenal dengan istilah social facts-yang mempengaruhi kehidupan seseorang. Kedua karya Durkheim ini jelas telah meninggalkan cara-cara kerja Comte dan Spencer dalam memahami kehidupan masyarakat (Ritzer, 2003:1).66 Dalam studi-studi sosiologi yang dilakukannya, Durkheim memformulasikan empat petunjuk dasar dalam advokasi aturan metodologi penelitian sosiologis yang dipraktikkannya (Durkheim, 1982:60-83, Jones, 1986:63-65), yaitu:
Aturan pertama dan paling dasar adalah to consider social facts as things. Dikatakannya bahwa suatu fenomena adalah benda. Hal ini sama dengan mengatakan bahwa fenomena itu adalah "data" dan ini merupakan titik awal ilmu pengetahuan Fenomena sosial menunjukkan karakter ini tanpa perlu dipertanyakan. Selanjutnya, dalam meneliti fenomena sosial kita menempatkannya dalam bingkainya sendiri, yang terbebas dari representasi mental manusia. Oleh karenanya, menurut Durkheim, masalah sosiologis harus dikaji dari luar. Karena hanya dengan cara itu fenomena sosial menampakkan diri mereka kepada kita. Durkheim menyebut aturan ini dengan istilah basic rule 'aturan dasar'. Namun demikian dalam melakukan penelitian sosiologis, aturan dasar ini belum cukup, makanya Durkheim menganggap kita masih membutuhkan tiga aturan tambahan dalam disiplin ilmu sosiologi yang disebutnya principal rules (aturan pokok) (Durkheim, 1982:60&72). Jadi tiga aturan berikut ini merupakan principal rules.
Aturan kedua-the first principal rule is"one must sistematically discard all preconceptions". Aturan ini menyatakan bahwa semua prakonsepsi harus dihilangkan. Seperti yang diuraikan pada aturan dasar di atas, objek kajian sosiologis adalah hasil konkritisasi fenomena sosial menjadi layaknya sebuah bahan material. Tanpa proses konkritisasi semacam ini, kegiatan saintifik atas fenomena sosial tidak dapat dimulai, kata Durkheim. Sehubungan dengan aturan dasarnya yang mengharuskan proses transformasi mental manusia dari sesuatu yang abstrak menuju sesuatu yang konkrit menimbulkan masalah tersendiri. Proses ini melibatkan subjektivitas manusia. Durkheim menyatakan "feeling is an object for scientific study, [but] not the criterion of scientific truth" (Durkheim, 1982:74). Dalam setiap kegiatan ilmiah yang menjadi penting adalah fakta itu sendiri, bukan konsepsi yang diletakkan padanya. Karena konsepsi atas sebuah fakta bisa sebanyak orang yang menginterpretasinya. Makanya, aturan Derikutnya "all preconceptions must be eradicated" dibuat. Dengan menghapus semua prakonsepsi yang ada, akan memungkinkan macam interpretasi atas semacam ini bisa salah dalam arti seseorang bisa melanjutkan kegiatan saintifiknya dan berupaya meminimalisasi efek-efek prasangka dan distorsi pandangan atas Takta yang akan diteliti. Dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka menjadi jelas bahwa jika seorang sosiolog ingin melakukan aktivitas saintifik, "he must free himself from those fallacious notions which hold sway over the mind of the ordinary person, shaking of, for all, the yoke of those empirical categories that long habit often makes tyrannical" (Durkheim, 1982:73, Jones, 1986:64).
Aturan ketiga-the second principal rule is that "the subject matter of research must only include a group of phenomena defined beforehand by certain common external characteristics and all phenomena which correspond to this definition must be so included" (Durkheim, 1982:75, Jones, 1986:64). Durkheim bersikeras bahwa setiap penelitian saintifik harus dimulai dengan mendefinisikan specific group of phenomena yang menjadi perhatian peneliti. Dan jika definisi yang dimaksudkan menjadi objektif, definisi tersebut harus tidak hanya berhubungan dengan konsep ideal tentang fenomena itu sendiri, tetapi perlu dihubungkan dengan berbagai karakteristik baik yang melekat pada fenomena itu sendiri maupun yang secara eksternal tampak berhubungan dengannya pada tahap awal penelitian (Jones, 1986:64). Penyebab setiap fenomena sosial tertentu harus dilihat dalam kerangka fenomena sosial lainnya, baik yang terjadi saat fenomena itu didefinisikan maupun once and sebelumnya. Dalam bahasa yang lain, hubungan antar fenomena sosial bisa paralel-horisontal maupun vertikal-historik. Demikian maksud dari pernyataan Durkheim ini.
Aturan terakhir-the third principal rule is: "when the sociologist undertakes to investigate any order of social facts, he must strive to consider them from a viewpoint where they present themselves in isolation from their individual manifestations" (Durkheim, 1982:82-83, Jones, 1986:64). Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa subjek untuk penelitian-penelitian sosiologis harus fenomena sosial (social facts) yang dapat diobservasi secara langsung. Social facts harus dipandang sebagai suatu hasil dari suatu group experiencies dan bukan individual actions. Pengalaman individu sangat potensial mencerminkan preferensi pribadi yang jauh dari social facts dan bisa terlalusubjektif. Aturan ini sebenarnya merupakan upaya Durkheim mengeliminasi pengaruh refleksi subjektivitas individu atas fenomena sosial. Dengan demikian persepsi-persepsi yang sifatnya terlalu bersifat pribadi harus dibuang. Durkheim sendiri (Durkheim, 1982:81, Jones, 1986:64- 64) menyebutkan bahwa dalam natural science-pun data-data observasi yang subjektif dibuang, dan hanya mempertahankan data-data yang menunjukkan derajat objektivitas yang memadai secara eksklusif. Observasi sosiologis harus sama objektifnya Idengan observasi dengan natural science]. Oleh karena itu, social facts harus sedapat mungkin terpisah dari fakta-fakta individu dimana social facts itu termanifestasi.
Durkheim dalam advokasi metodologisnya seperti tertera di atas sangat jelas diwarnai oleh filsafat positivisme dan positive method dari Comte. Lebih jauh, jika ditelusuri ke akar filsafatnya, aturan advokasi metodologi penelitian sosiologi Durkheim ini berakar dari filsafat empirisisme yang berawal dari Aristoteles, kemudian dikembangkan oleh Francis Bacon bahwa objek ilmu pengetahuan bersifat empirik yang dialami manusia. Kita ambil contoh aturan dasarnya; to consider social facts as perlunya proses transformasi dari abstract matter menjadi measurable matter. Dengan kata lain, dalam bahasa penelitian, sebelum melakukan penelitian sosiologis, hal pertama dan utama yang harus dilakukan yaitu mengubah suatu konsep menjadi sesuatu yang terukur. Hal ini berarti kita harus melakukan konversi dari sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang konkrit. Tanpa konversi semacam ini penelitian sosiologis tidak bisa berjalan. Sebagai contoh dalam penelitian Suicide- nya, Durkheim mengubah konsep suicide (bunuh diri) yang abstrak menjadi terukur dengan menggunakan istilah proportion of suicide per 100,000 inhibitants. Dengan menggunakan istilah proportion, konsep bunuh diri berubah menjadi sesuatu yang terukur.
Meskipun pemikiran Durkheim masih diwarnai oleh pemikiran Comte dalam mengkaji masalah-masalah sosial, tetapi ia telah melakukan loncatan berpikir dalam memandang objek kajian wsosiologis. Sebelumnya, Comte menempatkan dunia ide sebagai pokok persoalan studi sosiologis. Namun Durkheim berpendapat bahwa dunia ide tidak dapat dijadikan sebagai objek penelitian. Ide hanya berfungsi sebagai suatu konsepsi yang berada dalam domain mind (pikiran). Oleh karenanya, ia tidak dapat dipandang sebagai sesuatu (a thing). Durkheim selain mengeritik Comte, juga menuduh Spencer tidak berusaha menjadikan kenyataan hidup sebagai objek studi sosiologisnya, tetapi idenya sendiri tentang hidup bermasyarakat yang dijadikan sebagai objek studi. Oleh karena itu, Durkheim mengklaim bahwa Comte dan Spencer setali tiga uarng; lebih menekankan ide social order (keteraturan masyarakat) daripada berusaha melakukan peneli tian empirik. Dengan demikian, Durkheim memandang Comte dan Spencer sama-sama bersalah karena membelokkan sosiologi menjadi cabang filsafat, bukan mengarahkannya menjadi ilmu pengetahuan empirik yang berdiri sendiri. Sebagai respon dari "kesalahan" Comte dan Spencer, maka Durkheim mengembangkan konsep social facts sebagai pokok persoalan penelitian sosiologis (Ritzer, 2003:13-14).
DAFTAR PUSTAKA
Suyanto, Bagong dan Sutina (Ed.). 2015. “Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan”. Jakarta : Prenadamedia Group. hlm. xiii.
Moleong, Lexy J. 2010. “Metodologi Penelitian Kualitatif”. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. hlm. 49-51.
Salam, Muslim. 2011. “Dialog Paradigma Metodologi Penelitian Sosial”. Makassar : Masagena Press. hlm. 101-115.
SUMBER TUGAS :
NUR FADILLAH (MAHASISWA UNHAS MAKASSAR)
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
SUMBER GAMBAR : Freepik.com
Wallahu a'lam..
As stated by Stanford Medical, It's in fact the SINGLE reason women in this country get to live 10 years more and weigh an average of 42 lbs less than we do.
ReplyDelete(Just so you know, it has absoloutely NOTHING to do with genetics or some hard exercise and absolutely EVERYTHING to "how" they are eating.)
P.S, I said "HOW", not "WHAT"...
CLICK on this link to determine if this quick test can help you decipher your real weight loss possibilities