A. LATAR BELAKANG KONFLIK DI PAPUA
Papua adalah suatu wilayah / provinsi yang terletak di kawasan paling timur dari kesatuan RepublikIndonesia. Papua masuk dalam NKRI pada tanggal 19November 1969 melalui resolusi PBB No. 2504. Hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi Papua ke Indonesia menurut hukum internasional. Selanjutnya, Papua menjadi daerah otonom yang absah bagi Indonesia pada tahun 1969 melalui UU No.12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat yangdikenal saat ini sebagai Papua.Akan tetapi sejak menjadi bagian NKRI, sebagian penduduk Papua merasa kurang puas karena secara fakta mereka merasa masih termarginalkan dan miskin (Sugandi, 2008). Ketidakpuasan itulah, yang memunculkan semangat untuk memerdekakan diri dan salah satu pemicu konflik di Papua sampai saat ini. Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi konflik tersebut telah kami rangkum sebagai berikut:
• Ketimpangan Ekonomi
Papua yangluasnya empat kali lipat pulau Jawa dan memiliki sumber daya alam yang sangatbesar seharusnya mampu membuat rakyatnya hidup sejahtera. Namun faktanya mayarakat Papua dalam aspek ekonomi masyarakatnya masih tergolong miskin diantara wilayah-wilayah lain di NKRI. Kondisi kemiskinantersebut tampak pada terisolirnya kehidupan sekitar 74% penduduk Papua.Tempat tinggal mereka tidak memiliki akses sarana transportasi ke pusatpelayanan ekonomi, pemerintahan dan pelayanan sosial (Sugandi, 2008:5-6).
Ketimpangan ekonomi yang juga terlihat adalah adanya kesenjangan harga dari beberapa produk-produk kebutuhan masyarakat di Papua. Selain beberapa hal tersebut masyarakat Papua juga merasa pemerintah Indonesia hanya melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam di Papua untuk menambah kekayaan bangsa namun tidak memperdulikan kesejahteraan masyarakat Papua(Sugandi, 2008), hal ini dibuktikan dengan adanya PT. Freeport yang mengeksploitasi kekayaan logam Papua namun masyarakat di wilayah sekitar PT. Tersebut merasa tidak mendapatkan keuntungan apapun, mereka justru merasa dirugikan.
• Historis
Selain aspek ekonomis, separatisme di Papua di picu juga oleh konflikyang berakar dari kekecewaan historis, ketidak adilan dibidang sosial budaya, nasionalismePapua, diskriminasi politik dan hukum. Dalam perspektif kekecewaan historis,Ferry Kareth mempersoalkan keabsahan Pepera. Ia berpendapat bahwa Pepera itutidak sah, sebab dilaksanakan di bawah tekanan. Pepera yang dilaksanakan tahun 1969 itu, dilaksanakan dengan perwakilan, bukan one man one vote sesuai New York Agreement. Dan menurutnya masuknya Papua ke NKRI itu karenadirebut, bukan atas dasar keinginan rakyat itu sendiri (Sugandi, 2008:4-5).
• Dorongan Kelompok-Kelompok Lokal, Internasional, dan Situasi Politik
Indonesia memiliki ancaman internal berupa kelompok pemberontak separatisme yang mendapatkan pasokan persenjataan dari pelaku penyelundupan senjata api illegal yang beredar di sekitar perairan Indonesia. Sebagai wujud semangat mereka untuk memerdekakan diri. Terbentuklah kelompok didalam masyarakat yang melakukan aksi-aksi pemberontakan atau separatis. Dimana separatisme di Papua dikendalikan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang disusul pembentukan Presidium Dewan Papua (PDP). Gerakan ini telah ada sejak 1965 dengan melakukan aktifitas secara sporadis dalam gerakan militer yang melibatkan masyarakat. Perlawanan yang dilakukan OPM ditandai dengan penyanderaan, demonstrasi massa, pengibaran bendera, penempelan pamflet, aksi pengrusakan dan pelanggaran lintas batas negara. Mengatasi masalah separatisme ini Pemerintah Pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan di Papua, sebab tidakan pemerintah Indonesia yaitu dengan mengadakan Operasi Militer guna mengatasi pemberontakan separatisme di Papua itu dalam faktanya justru banyak menimbulkan pelanggaran HAM dan kekerasan dari pihak lembaga pengamanan di wilayah tersebut (Sugandi, 2008).
Faktor pemicu lain yang memperparah konflik di Papua adalah kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif di wilayah Papuadan memaksa beberapa warga Papua keluar meninggalkan negaranya. Inilah yang menjadi alasan utama 42 warga Papua meminta suaka politik ke pemerintahan Australia pada tahun 2006. Mereka keluar dari Papua menggunakan perahu dan memanfaatkan kelemahan pengawasan perairan di Indonesia. Mereka bertolak dari Merauke, berlayar selama lima hari dan akhirnya mendarat di tepi pantai terpencil Cape York, Australia.Selanjutnya, pada bulan Maret 2006, DepartemenImigrasi dan Masalah-masalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka (Ramli, 2015).
Selain itu, Australia juga diketahui telah menginisiasi pembentukan kaukus parlemen internasional untuk mendukung kemerdekaan Papua (International Parliamentarians for West Papua / IPWP). IPWP diluncurkan di Canberra pada tanggal 28 Februari 2012 (Kompas.com, 17 April 2012). Dimana kaukus ini beranggotakan sejumlah partai politik dari sejumlah negara, antara lain Ricard Di Natale dan Bob Brown dari Partai Hijau Australia, Power Parkop dari Papua Nugini (PNG), Rahl Regenvanu (Vanuatu), dan Chaterine Delahunty (New Zeland)(Ramli, 2015).
Dengan demikian, keterlibatandari negara-negara yang berada dekat dengan Papua tersebut seperti pada penjelasan diatas, merupakan sebuah tindakan yangdianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap integritas NKRI dan hal tersebut semakin memperparah situasi politik baik antara masyarakat maupun pemerintah Indonesia sendiri.
• Asal Usul Perbedaan Ras dan Etnis
Faktanya pendudu kasli Papua, dilihat secara fisik memiliki kesamaan dengan penduduk negara tetangganya Papua Nugini dan negara-negara kepulauan di sekitarnya, dilihat dari jenis rambutnya dan warna kulitnya memang menunjukkan mereka merupakan bagian dari ras Negroid. Orang Papua sendiri menyebut diri mereka sebagai bangsa Melanesia, istilah yang ditujukan kepada penduduk yang mendiamipulau Papua dan gugusan pulau kecil di sekitarnya. Hal itulah yang menjadi mendasari timbulnya pandangan bahwa warga Papua berbeda dengan warga Indonesia (Abdullah, 2019). Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang menyebabkan terjadinya perlakuan diskriminasi dan rasisme. Dan puncak konflik di Papua baru-baru ini dipicu oleh perlakuan rasis aparat keamanan dan anggota masyarakat terhadap mahasiswa Papua di Jawa. Rasisme bisa berakibat serius. Rasisme menyebabkan orang tidak dilibatkan dalam pembahasan tentang masa depan dirinya sendiri (Munro, 2019). Hal inibisadigunakansebagaisalahsatucarauntukmemecahintegrasibangsakita NKRI.
B. UPAYA ASEAN MEMBANTU MENYELESAIKAN KONFLIK PAPUA
ASEAN (Association of South East Asian Nations) yang berarti Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara, adalah organisasi regional yang dibentuk oleh kelima negara Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Muangthai dengan penandatanganan Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok oleh kelima Menteri Luar Negeri negara-negara tersebut pada tanggal; 8 Agustus 1967 di Bangkok (Wiharyanto, 2010).
Awalnya ASEAN dibentuk untuk memajukan kerjasama di bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan sosial budaya, bidang kerjasama politik dan keamanan belum disebutkan didalam Deklarasi ASEAN tersebut. Kerjasama politik dan keamanan baru dimulai dalam pertemuan para Menteri Luar Negeri di Kuala Lumpur tanggal 27 November 1971, dengan Deklarasi Kuala Lumpur yang disebut Deklarasi ZOPFAN (Zone of Peace, Freedom and Neutrality Declaration).
Oleh karena itu, ASEAN mempunyai peranan penting dalam menyelesaikan krisis- krisis yang terjadi di dalam kawasan. Hinggatahun 1976 ASEAN belum mempunyai suatu lembaga yang dapat menyelesaikan konflik di antara sesama anggotanya. Pertikaian antara anggota diselesaikan secara bilateral, antaranegara yang mengalami konflik saja. Konflik antaranggota tidak dapat dibicarakan dalam forum ASEAN dananggota ASEAN yang lain tidakdapat menyampaikan pendapatnya mengenai permasalahan tersebut karena dianggap melanggar prinsip non intervensi. Keterlibatan pihak ketiga hanya dapat dilaksanakan apabila para pihak yang bersengketa menyetujui keterlibatan pihak ketiga tersebut dan tidak melibatkan ASEAN sebagai institusipolitik.
Alat penyelesaian konflik di dalam tubuh ASEAN yang pertama kali adalah Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC). TAC merupakan satu- satunya instrumen penyelesaian konflik yang dilakukansecaradiplomatik. TAC juga menyatakan prinsip-prinsip dasar dalam berhubungan antaranggota ASEAN serta mengadakan rencana kerjasama anggota ASEAN untuk bekerjasama. Negara anggota ASEAN berharapmelalui TAC diantara mereka dapat mengembangkan perdamaian, persahabatan, dan kerjasama yang saling menguntungkan yang dapat memperjelas eksistensi negara wilayah Asia Tenggara.
ASEAN terusmengalamiperluasanmenjadisepuluhnegaraanggotayaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam tahun 1984, Vietnam tahun 1995, Laos tahun 1997, Myanmar tahun 1997, danKambojatahun 1999. Namunpadasisi lain dengansemakinluasnyakeanggotaan ASEAN makaperbedaan-perbedaan intra ASEAN, khususnyaantaranegaraanggota lama dan yang barumenjadisemakinbesar. Sementaraituperbedaanbudaya, agama danrasialakantetaptampak. SebagaimanadikatakanolehLuhulima, suatu ASEAN yang lebihbesarberarti “tantangan-tantanganbaru, tanggungjawab yang lebihbesar, dansecarapotensiallebihbanyakpersengketaan internal (SekretariatNasional ASEAN, 2019).
Penambahanjumlahanggota ASEAN diatastelahmempengaruhiperkembangan ASEAN di masa-masamendatangterutamaberhubungandengan proses pengambilankeputusan yang akansemakinkompleks.
Penambahan jumlah anggota akan semakin mempersulit efektifitas pengambilan keputusan, dimana selama ini ASEAN berpegang teguh pada prinsip ASEAN Way yang salah satu prinsipnya mendasarkan keputusan pada konsensus dan tidak campur tangan terhadap urusan anggota lain nampaknya perlu dikajiulang karena proses pengambilan keputusanakan memakan waktu yang lebih lama. ASEAN jugaakan lebih sulit untuk mencapai satu suara mengenai suatu kebijakan tertentu (Sekretariat Nasional ASEAN, 2019).
Penambahan jumlah anggota akan semakin mempersulit efektifitas pengambilan keputusan, dimana selama ini ASEAN berpegang teguh pada prinsip ASEAN Way yang salah satu prinsipnya mendasarkan keputusan pada konsensus dan tidak campur tangan terhadap urusan anggota lain nampaknya perlu dikajiulang karena proses pengambilan keputusanakan memakan waktu yang lebih lama. ASEAN jugaakan lebih sulit untuk mencapai satu suara mengenai suatu kebijakan tertentu (Sekretariat Nasional ASEAN, 2019).
Prinsip ASEAN inilah yang kemudian mengakibatkan organisasi ini tidak dapat berkontribusi langsung dalam konflik yang terjadi di Papua. ASEAN hanya dapat memberi saran, antara lain :
1. Perwakilan ASEAN Perlamentarians for Human Right (APHR) menyerukan bahwa kekerasan di Papua harus dihentikan dan menyarankan agar Indonesia sesegera mungkin melakukan dialog antara pemerintah dengan masyarakat Papua demi memulihkan stabilitas dan kedamaian di bumi Papua.
2. APHR juga menyoroti ketika pamerintah Indonesia melakukan pemblokiran akses internet secara sepihak dan membuat masyarakat Papua semakin merasa terdiskriminasi dan tidak mendapatkan keadilan (APHR, 2016).
Berbagai kritik terhadap ASEAN beberapa tahun belakangan ini muncul karena sebagai organisasi, kekuatan ASEAN dipandang semakin melemah. Salah satu sebabnya karena diterapkannnya prinsip non-intervensi.
Prinsip tersebut menjadi dasar utama dalam hubungan antarnegara anggota dan dipegang teguh oleh para negara anggotanya dengan dasar kedaulatan. Disatusisi, selama 40 tahun perjalanan ASEAN prinsip itu justru berhasil mempertahankan ASEAN sebagai satu kesatuan. Namun di sisi lain, apabila prinsip non-intervensi lebih fleksibel, maka akan terbuka peluang penyelesaian berbagai permasalahan internal seperti pada konflik Papua ini. Menghadapi kenyataan tersebut, disadari bahwa ternyata ASEAN belum dapat mewujudkan suatu identitas kolektif, dimana negara- negara anggota saling menyadari bahwa mereka merupakan suatu keluarga (Sekretariat Nasional ASEAN, 2019).
Prinsip tersebut menjadi dasar utama dalam hubungan antarnegara anggota dan dipegang teguh oleh para negara anggotanya dengan dasar kedaulatan. Disatusisi, selama 40 tahun perjalanan ASEAN prinsip itu justru berhasil mempertahankan ASEAN sebagai satu kesatuan. Namun di sisi lain, apabila prinsip non-intervensi lebih fleksibel, maka akan terbuka peluang penyelesaian berbagai permasalahan internal seperti pada konflik Papua ini. Menghadapi kenyataan tersebut, disadari bahwa ternyata ASEAN belum dapat mewujudkan suatu identitas kolektif, dimana negara- negara anggota saling menyadari bahwa mereka merupakan suatu keluarga (Sekretariat Nasional ASEAN, 2019).
C. PRINSIP-PRINSIP ASEAN
Adapun penjabaran dari prinsip-prinsip ASEAN yang kami maksud sebelumnya adalah setiap organisasi tentu memiliki prinsip dasar yang menjadi landasan yang dianut dalam menjalankan organisasinya. Prinsip ini digunakan agar sebuah organisasi dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Begitupun juga dengan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional dimana prinsip-prinsip ini harus dipatuhi oleh setiap negara anggota dalam organisasi (Sekretariat Nasional ASEAN, 2019). Adapun prinsip-prinsip utama yang dimiliki oleh ASEAN yang dipegang teguh adalah sebagai berikut:
1.Menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN.
2. Komitmen bersama dan tanggung jawab kolektif dalam meningkatkan perdamaian, keamanan, dan kemakmuran di kawasan ASEAN.
3. Menolak agresi, ancaman, penggunaan kekuatan, atau tindakan lainnya dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan hukum internasional.
4. Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota ASEAN, dan menghormati kebebasan yang mendasar, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia, serta pemajuan keadilan sosial.
5. Apabila ASEAN diibaratakan sebuah lingkungan rukun tetangga (RT), dan lingkungan rukun tetangga tersebut terdiri dari beberapa rumah tangga atau keluarga, maka ASEAN juga terdiri dari 10 negara yaitu Indonesia, Singapura, Myanmar, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Malaysia, Thailand, dan Kamboja. Dalam suatu lingkungan, tentunya kita tidak bisa masuk ke dalam rumah tetangga dengan sembarangan, demikian juga sebaliknya tetangga tidak boleh masuk ke dalam rumah kita dengan semaunya. Ini juga berlaku di ASEAN yang sesuai prinsipnya yaitu saling menghormati antar sesama negara anggota ASEAN (SekretariatNasional ASEAN, 2019).
Alasan dibentuknya ASEAN berawal dari situasi di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1960-an dimana pada saat itu kawasan Asia Tenggara dihadapkan pada situasi terjadinya rawan konflik karena adanya perebutan pengaruh ideologi negara- negara besar yang tediri dari dua blok yaitu blok barat dengan paham kapitalisme dan blok timur dengan paham komunisme. Negara-negara besar tersebut berusaha untuk menanamkan pengaruh dan ideologi mereka kepada negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Di samping itu, juga terjadi banyak konflik diantara negara-negara Asia Tenggara sendiri. Dan apabila terus dibiarkan, maka akan mengganggu stabilitas di kawasan dan juga menghambat pembangunan. Maka dari itu sesuai dengan prinsip yang kedua dimana ikut bersama dalam menjaga keamanan kawasan. Jika kembali diibaratkan dengan lingkungan RT, apabila ada perampok atau pencuri yang masuk kedalam rumah maka setiap warga memiliki kewajiban untuk ikut bertanggung jawab terhadap keamanan bersama. Begitupun juga dengan negara-negara ASEAN yang juga ikut dalam berperan dalam menjaga keamanan kawasan bersama. Segala bentuk perselisihan antarwarga RT akan diselesaikan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin menghindari perkelahian atau kekerasan (Kami, 2019).
Dalam kasus konflik Papua, ASEAN tidak dapat mencampuri urusan internal Indonesia karena suatu negara memiliki kedaulatan penuh yang didasari paham kemerdekaan dan persamaan derajat sesama negara, artinya bahwa negara berdaulat bebas dari negara lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain. Setiap negara memiliki kebebasan untuk mengurusi urusan dalam negerinya tanpa adanya campur tangan dari negara lain yang akan menodai prinsip kebebasan, kemerdekaan dan integritas suatu negara. Setiap negara-negara anggota ASEAN pun telah sepakat untuk menentang setiap bentuk campur tangan suatu negara, baik sesama maupun bukan sesama anggota ASEAN terhadap masalah dalam negeri anggota lainnya (Kami, 2019).
Oleh karena itu, karena prinsip-prinsip tersebut yang dipegang teguh oleh ASEAN sehingga tidak memiliki hak atau kewajiban untuk mencampuri masalah konflik yang terjadi di Papua karena konflik ini adalah konflik internal Indonesia. ASEAN hanya memberikan pendapat atau sarannya kepada Indonesia mengenai hal-hal yang bisa menjadi kompetensi Indonesia untuk mengambi keputusan untuk negaranya.
DAFTAR PUSTAKA
Sugandi, Yulia. 2008.Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua.MakalahDalam laman web:
https://library.fes.de/pdf-files/bueros/indonesien/06393.pdf. diakses pada 31 Oktober 2019 pukul 20.10.
Ramli, Hamid. 2015. “Negara-Negara di Balik Gerakan Papua Merdeka”.Dalam laman web berita:Kompasiana.com.https://www.kompasiana.com/amp/haramli/negaranegara-di-balik-gerakan-papua-merdeka_54f5d5c9a33311f64e8b46d2. diakses pada 01 November 2019 pukul 07.00.
Abdullah, Adnan. 2019. “Orang Papua Berbedadengan Orang Indonesia?”. Dalam laman web berita:Kompasiana.com. https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/adnan_abdullah/5d5f64a3097f36492c56e6c2/orang-papua-memang-berbeda-dengan-orang-indonesia-lainnya. diakses pada pada 01 November 2019 pukul 07.15.
Munro, Jenny. 2019. “Isurasismeperlulebihbanyakdibahas di Indonesia”.The Conversation. Dalam laman web report: https://www.google.com/amp/s/theconversation.com/amp/isu-rasisme-perlu-lebih-banyak-dibahas-di-indonesia-123178. diakses pada 01 November 2019 pukul 07.20.
Wiharyanto, AKardiyat. 2010.Proses Berdirinya ASEAN.JurnalHistoria Vitae, vol.24no. 2.
Sekretariat Nasional ASEAN. 2017. “Tentang ASEAN”. Dalam laman web report: http://setnas-asean.id/tentang-asean. diakses pada 31 Oktober 2019 pukul 19.00.
Kami, Edi. 2019. “ASEAN Adalah Kita”. Dalam laman web berita:Kumparan.com. https://kumparan.com/endy-kami/asean-adalah-kita-1rbYLDWEWnR.diakses pada 31 Oktober 2019 pukul 18.30.
ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR).2016. APHR menyoroti hambatan-hambatan anggota parlemen dalam membela HAM rakyat ASEAN, Makalah, diaksespadatanggal 26 November 2019.https://aseanmp.org/wp-content/uploads/2016/12/APHR_Press-Release_Human-Rights-Day_IND.pdf
SUMBER TUGAS :
MAHASISWA UNHAS (NUR FADILLAH)
Wallahu a'lam..
No comments :
Post a Comment