Para ulama membagi jenis jarimah dalam tiga bagian, berikut ini :
1. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah suatu jarimah yang bentuknya telah dientukan syara sehingga terbatas jumlahnya. Selain ditentukan bentuknya (jumlahnya), juga ditentukan hukumannya secara jelas, baik melalui Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Lebih dari itu, jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak Tuhan. Jarimah-jarimah yang menjadi hak Tuhan, pada prinsipnya adlah jarimah yang menyangkut masyarakat banyak, yaitu untuk memelihara kepentingan, ketentramana, dan keamanan masyarakat. Oleh karena itu, hak Tuhan identik dengan hak jamaah atau hak masyarakat, maka pada jarimah ini tidak dikenal pemaafan atas perbuat jarimah, baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah (mujnaa alaih) maupun oleh negara.
Hukuman jarimah ini sangat jelas diperuntukkan bagi setiap jarimah. Karena hanya ada satu macam hukuman untuk setiap jarimah, tidak ada pilihan hukuman bagi jarimah ini dan tentu saja tidak mempunyai batas tertinggi maupun terendah seperti layaknya hukuman yang lain.
Dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelaku yang telah nyata-nyata berbuat jarimah yang masuk ke dalam kelompok hudud tentu dengan segala macam pembuktian, hakim tinggal melaksanakannya apa yang telah ditentukan syara. Jadi, fungsi hakim terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditentukan, tidak berijtihad dalam memilih hukuman.
Karena beratnya sanksi yang akan diterima si terhukum kalau dia memang bersalah melakukan jarimah ini, maka penetapan asas legalitas bagi pelaku jarimah ini harus ekstrahati-hati, ketat dalam penerapannya serta tidak ada keraguan sedikitpun bagi hakim dalam penrapannya. Mengapa harus demikian? Karena sanksi jarimah hudud menyangkut hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan si pembuat jarimah. Dengan demikian, kesalahan vonis, kesalahan dalam menentukan jarimah akan menimbulkan dampak yang buruk.
Para ulama membuat kaidah dalam menghadapi kasus-kasus yang termasuk kelompok hudud, yaitu:
Artinya:
“Kesalahan dalam memaafkan bagi seorang imam lebih baik daripada kesalahan dalam menjatuhkan sanksi.”
Oleh karena itu, kalau terjadi keraguan, ketidakyakinan, kekurangan bukti, dan sebagainya, hindarilah penjatuhan hudud tersebut, seperti disebutkan kaidah berikut :
Artinya:
“Hindarilah hukuman had (hudud) kaena ada keraguan (syubhat).”
Adapun jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud menurut, para ulama, ada tujuh macam jarimah, yaitu perzinahan, qadzaf atau (menuduh orang berzina), asyrib atau minum-minuman keras, sariqah atau pencurian, hirabah atau pembegalan, al baghyu atau pemberontakan, dan riddah atau keluar dari agama Islam.
2. Jarimah Qishash/Diyat
Seperti halnya jarimah hudud, jarimah qishash diyat pun telah ditentukan jenisnya maupun besar hukumannya. Jadi, jarimah ini pun terbatas jumlahnya dan hukumannya pun tidak mengenal batas tertinggi maupun terndah karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap jarimah.
Satu-satunya perbedaan jarimah qishash/diyat dengan jarimah hudud adalah jarimah qishash/diyat menjadi hak perseorangan atau hak adami yang membuka kesempatan pemaafan bagi si pembuat jarimah oleh orang yang menjadi korban, wali, atau ahli warisnya. Jadi, dalam kasus jarimah qhishash/diyat ini, korban atau ahli warisnya dapat memaafkan perbautan si pembuat jarimah, meniadakan qishash, dan menggantinya dengan diyat atau meniadakan diyat sama sekali.
Hak perseorangan yang dimaksud seperti telah disinggung hanya diberikan kepada korban, dalam hal si korban masih hidup, dan kepada wali atau ahli warisnya kalau korban meninggal dunia. Oleh karena itu, seorang kepala negara dalam kedudukannya sebagai penguasapun tidak berkuasa memberikan pengampunan bagi pembuat jarimah. Lain halnya kalau si korban tidak mempunyai wali atau ahli waris, maka kepala negara bertindak sebagai wali bagi orang tersebut, seperti disebutkan:
Artinya :
“Penguasa adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali”.
Jadi, kekuasaan untuk memafkan si pembuat jarimah itu bukan karena kedudukannya sebagai penguasa tertinggi suatu negara, tetapi karena statusnya sebagai wali dari korban yang tidak mempunyai wali atau ahli waris.
Kekuasaan hakim seperti halnya pada jarimah hudud terbatas pada penjatuhan hukuman apabila perbuatan yang dituduhkan itu dapat dibuktikan. Penjatuhan hukuman qishash pun hanya dijatuhkan hakim selama si korban atau ahli warisnya tidak memaafkan pembuat jarimah. Kalau hukuman qishash itu diamanatkan dan si korban atau ahli waris meminta diyat, hakim harus menjatuhkan diyat. Namun diyat pun bias saja karena berbagai pertimbangan dihapuskan oleh korban atau ahli warisnya. Sebagai pengganti penghapusan semua hukuman, hakim menjatuhkan ta’zir yang tujuannya di samping sebagai ta’dib (memberi pengajaran) juga sebagai hukuman pengganti dari dua hukuman terdahulu yang dihapuskan korban atau ahli warisnya dan logikanya hasulah lebih ringan. Namun demikian, karena ta’zir ini hak penguasa, hal itu terserah pada pihak yang mempunyai hak. Oleh karena itu, bias saja hukuman ta’zir lebih besar daripada hukuman yang dignatikan tentu saja dengan berbagai pertimbangan.
Qishash ditujukan agar pembuat jarimah (tindak pidana) dijatuhi hukuman yang setimpal, sebagai balasan atas perbuatannya itu. Jadi, hukuman bunuh hanya dijatuhkan bagi pembunuh dan pelukaan dijatuhi bagi orang yang melukai. Menurut arti katanya, qishash adalah akibat yang sama yang dikenakan kepada orang yang dengan sengaja menghilangkan jiwa atau melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain. Menurut kami, qishash ini merupakan hukuman terbaik sebab mencerminkan keadilan dan keseimbangan, sehingga si pembuat mendapat imbalan yang sama dan setimpal dengan perbuatannya. Kalau sebagian kita menganggapnya sebagai hukum yang kejam perlu dilihat lebih jauh apakah si pelaku pembunuhan itu tidak kejam? Apalagi bila dia melakukannya terhadap orang yang tidak berhak dihilangkan nyawanya.
Untuk menjamin ketrtiban dan keamanan yang berkeaan dengan nyawa dan anggota badan lainnya, qishash dipandang elbih menjamin daripada jenis hukum lainnya. Seseorang akan berpikir dua kali untuk membunuh, misalnya, kalau akibat yang bakal dia terima prsis seperti apa yang dia lakukan terhadap orang lain.
Perbedaan qishash dengan diyat adalah qishash merupakan bentuk hukuman bagi pelaku jarimah terhadap jiwa dan anggota badan yang dilakukan dengan sengaja. Adapun diyat merupakan hukuman yang dijatuhkan bagi pelaku jarimah dengan objek yang sama (nyawa dan anggota badan), tetapi dilakukan tanpa sengaja.
Jarimah yang termasuk dalam kelompok jarimah qishash/diyat terdiri atas lima macam. Dua jarimah masuk dalam kelompok jarimah qishsh yaitu, pembunuhan sengaja danpelukaan dan penganiayaan sengaja. Adapun tiga jarimah termasuk dalam kelompok diyat, yaitu pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan semi sengaja, dan pelukaan (penganiayaan) tidak sengaja. Di samping itu, diyat merupakan hukuman pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.
Diya, di samping merupakan sebuah hukuman, juga merupakan wujud ganti rugi bagi korban. Si pelaku jarimah memberikan sejumlah harta kepada si korban atau ahli warisnya, dengan besar kecilnya menurut jenis jarimah yang diperbuat. Diyat dianggap sebagai hukuman, sebab seandainya diyat diharpuskan, hakim harus menggantikan hukuman itu dengan hukuman yang lain, yaitu hukuman ta’zir. Logikanya kalau diyat bukan suatu hukuman, hakim tidak perlu menggantinya dengan hukuman lain bila ternyata diyat dimaafkan oleh korban atau ahli warisnya. Adapun diyat juga dianggap sebagai ganti rugi dan ini mirip sebab diyat diterimakan seluruhnya bagi korban atau keluarganya. Oleh karena itu, diyat ini merupakan perpaduan antara sebuah hukuman dang anti kerugian.
Seperti halnya jarimah hudud, penerpaan jarimah qishash/diyat pun harus hati-hati, sifat asas legalitas jarimah ini juga ketat. Oleh karena itu, apabila ada keraguan, ketidakyakinan terhadap jarimah ini, hukuman qishash harus dihindari, sesuai dengan kaidah:
Artinya :
“Hindari hukuman had (hudud dan qishash) apabila ada keraguan.”
Seperti telah dijelaskan, apabila diliaht dari segi telah ditetapkannya hukuman bagi jarimah dikatakan sebagai hudud. Had atau hudud itu ditentukan. Artinya, telah ditentukan jarimah dan hukumannya. Dalam hal ini, baik jarimah hudud maupun jarimah qishash/diyat sama-sama telah ditentukan jenis jarimah dan jenis hukumannya. Oleh karena itulah, Al Mawardy memasukkan qishash/diyat jarimah yang berkaitan dengan jiwa dan anggota badan) ke dalam kelompok hudud.
Kesalahan-kesalahan hukuman bagi jarimah ini, seperti halnya pada jarimah hudud, dapat berakibat fatal atau sekurang-kurangnya, hilangnya anggota badan orang lain. Sebab, kalau si korban atau ahli waris tidak bersedia memaafkan si pelaku jarimah, hukuman pun harus dijatuhkan. Jadi, walaupun dalam qishash ini terdapat hak untuk memaafkan, kehati-hatian hakim sebagai penegak hukum tiak serta merta menjadi longgar.
3. Jarimah Ta’zir
Ta’zir menurut arti katanya adalah at ta’dib artinya member pengajaran. Dalam fiqih jinayah, ta’zir merupakan suatu bentuk jarimah, yang bentuk atau macam jarimah serta hukuman (sanksi) jarimah ini ditentukan penguasa. Jadi, jarimah ini sangat berbeda degan jarimah hudud dan qishash/diyat yang macam jarimah dan abentuk hukumnya telah ditentukan oleh syara. Tidak ditentukan macam dan hukuman pada jarimah ta’zir sebab jarimah ini berkaitan dengan perkembangan masyarakat serta kemaslahatannya. Seperti kita mafhum, kemaslahatan selalu berubah berkembang dari satu waktu ke lain waktu dan dari satu tempat ke tempat lain. Oleh karena itu, sesuatu dapat dianggap kemaslahatan pada suatu masa, bias jadi tidak lagi demikian ada waktu yang lain. Demikian pula halnya, sesuatu itu dapat dianggap sebagai jarimah karena bertentangan dengan kemaslahatan umum, tetapi di saat lain tidak dianggap sebagai jarimah lagi karena kemaslahatan umum menghendaki demikian. Demikian pula halnya dengan perbedaan tempat di suatu tempat perbuatan itu dianggap sebagai jarimah, namun di tempat lain justru dianjurkan. Pemberian kekuasaan dalam menentukan bentuk jarimah ini kepada penguasa adalah agar mereka dapat dengan leluasa mengatur pemerintahnnya sesuai dengan situasi dankondisi wilayahnya, serta kemaslahatan daerahnya. Oleh karena itu, jarimah ta’zir ini juga sering disebut dengan jarimah kemaslahatan umum. Mengenai hukuman (sanksi), syara hanya menyebutkan bentuk-bentuk hukuman, dari yang seberat-beratnya sampai yang seringan-ringannya. Tanpa mengharuskan hukuman tertentu untuk jarimah tertentu pula, seperti pada jarimah hudud dan qishash/diyat. Dalam menangani kasus jarimah ini, hakim diberikan keleluasaan. Dia bebas berijtihad untuk menentukan apa yang hendak dijatuhkan kepada pembuat jarimah, sesuai dengan macam jarimahnya dan keadaan si pembuat jarimah.
Seperti telah disinggung di atas, jarimah ta’zir itu tidak terbilang dan tidak mungkin terbilang. Hal ini karena disamping banyaknya, juga mungkin tejadi fluktuasi, perubahan waktu dan temapt sesuai dengan kemaslahatannya. Namun demikian, syarat menyebutkan sebagian kecil dari jarimah dan berlaku untuk seluruh tempat tanpa pengecualian. Jarimah ta’zir seperti ini berlaku abadi diseluruh tempat dan tidak akan terjadi perubahan terhadapnya, artinya perbuatan-perbuatan seperti itu akan dianggap selaanya sebagai jarimah.
Jarimah ta’zir yang ditentukan syara di antaranya adalah khianat, suap-menyuap, memasuki rumah orang lain tapa izin, makan makanan tertentu, ingkar janji, menipu timbangan, riba, berjudi dan sebagainya. Namun demikian, walaupun bentuk dan hukuman jarimah ta[zir ditentukan syarat, penerapan sanksinya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Dia dapat memilih rangkaian hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Hal ini karena pada dasarnya jarimah ini adalah hak penguasa.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa jarimah ta’zir itu terbagi dalam dua kategori, ta’zir syara dan ta’zir penguasa. Dua bentuk jarimah ta’zir tersebut memiliki perbedaannya di samping ada kesamaannya. Ta’zir syarat ditentukan oleh syarat dan bersifat abadi, artinya sejak diturunkan oleh pembuat syari’at dan sampai kapanpun akan dianggap sebagai jarimah. Ini karena jarimah ta’zir syarat sejak awalnya memang telah dianggap sebagai suatu perbuatan maksiat, yaitu perbuatan yang dilarang karena perbuatan itu sendiri dan melakukannya dianggap perbuatan maksiat. Adapun ta’zir penguasa ditentukan oleh penguasa dan bersifat sementara bergantung pada keadaan dan dapat dianggapjarimah kalau memang diperlukan. Demikian pula, dapat dianggap bukan jarimah kalau memang diperlukan. Demikian pula, dapat dianggap bukan jarimah kalau memang menghendaki demikian. Hal ini karena pada dasarnya ta’zir penguasa itu bukan suatu perbuatan yang dilarang mengerjakannya, namun keadaan menyebabkan perbuatan itu dilarang.
Adapun permasaan kedua jarimah tersebut adalah sanksi keduanya ditentukan oleh penguasa. Contohnya, perbuatan riba atau menipu timbangan walaupun Al Qur’an menyebutnya sebagai sautu kejahatan, hukuman kedua jarimah tersebut tidak disertakan (tidak dijelaskan). Oleh karena itu, ketentuan sanksi perbuatan tersebut diserahkan kepada penguasa dan hakim akan memilihnya dari rangkaian hukuman yang ada. Demikian pula halnya dengan menipu, khianat, berjudi dan lainnya.
Penerapan asas legalitas bagi jarimah ta’zir berbeda dengan penerapannya pada jarimah hudud dan qishash/diyat. Jarimah hudud dan qishash/diyat, seperti kita ketahui, bersifat ketat, artinya setiap jarimah hanya diberikan sanksi yang sesuai dengan ketentuan syarat. Sebaliknya, jarimah ta’zir bersifat longgar. Oleh karena itu, tidak ada ketentuan bagi tiap-tiap jarimah secara tersendiri, seperti dua jarimah terdahulu. Itulah sebabnya, bias terjadi hukuman jarimah yang sama bentuknya dan dilakukan dua orang akan mempunyai sanksi yang berbeda. Di samping itu, untuk beberapa jarimah yang mempunyai kesamaan dengan jarimah lain, tidak diperlukan peraturan (asa legalitas) yang khusus. Cukup apabila jarimah-jarimah tersebut mempunyai kesamaan sifat yang telah ditentukan secara umum. Oleh karena itu, kemungkinannya bias saja beberapa jarimah yang berbeda akan mendapat hukuman yang sama. Itulah yang diamksud dengan jarimah ta’zir bersifat elastic atau longgar.
Pemberian kekuasaan kepada hakim dalam menangani jarimah ta’zir, tidak berarti bahwa dia dapat berbuat seenaknya (tahakumiyah). Misalnya, seorang hakim menjatuhkan hukuman, terhadap tindakan itu tidak semestinya. Hal ini karena pada dasarnya, semua jarimah tlah memiliki aturan, sedangkan pemberian kekuasaan bagi hakim adalah memilih hukuman yang sesuai dengan keadaan sehingga akan mencerminkan isi hukuman itu sendiri dan menerapkan keadilan bagi seluruh manusia.
Sumber :
http://e-journalfh.blogspot.co.id/2013/03/jinayah-jarimah.html
(Wallahu'alam)
No comments :
Post a Comment